Islamuna El-Jamil
Alyauma akmaltu lakum dinakum

Rabu, 10 Oktober 2012

Duka Tersenyum

Hari demi hari ku lalui
Tak terasa tahunpun berubah
Namun,,
Entah mengapa duka selalu berpihak pada ku

Kapankah kebahagian akan menjelma
Oh dunia…… 
Mengapa kau berikan kefanaanmu padaku 
Mengapa kau lengahkan aku dengan kebahagianmu 
Sehingga aku tak tau kemana arah jalanku 
Sehingga aku lalai dari Tuhanku 

Wahai dunia…….. 
Kalau kau memang ada karna Allah 
Jangan kau halangi aku dengan hiasanmu 
Jangan kau lengahkan aku dengan keasyikanmu 
Karna ku tau kau hanyalah fana 

Aku tau; 
Kau lengahkan manusia dengan kesibukanmu 
Kau lenakan manusia dengan keasyikanmu 

Kamis, 14 Juni 2012

Fadhilah Abu-Bakar & Umar

Di antara alasan kaum Syi’ah Rafidlah yang menganggap bahwa Ali radliyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah:
1. Mereka menganggap Ali radliyallahu ‘anhu lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar radliyallahu ‘anhuma.
2. Ali radliyallahu ‘anhu termasuk keluarga Rasulullah (ahlul bait).
3. Wasiat Rasulullah di Ghadir Khum.

Kita jawab alasan mereka satu persatu:

Pertama pendapat mereka tentang keutamaan Ali radliyallahu ‘anhu di atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Pendapat ini menyelisihi hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan seluruh kaum muslimin. Bahkan menyelisihi ucapan Ali radhiallahu ‘anhu sendiri.

1. Diriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Ibnu Umar:
كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. :: رواه البخاري فتح الباري ج 7 ص 16

Kami membanding-bandingkan di antara manusia di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Maka kami menganggap yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman bin Affan. (HR. Bukhari: jilid 7 hal 16)

Dalam lafadh lain dikatakan:
كُنَّا نَقُوْلُ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ أَفْضَلُ أُمَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ. رواه أبو داود في كتاب السنة باب التفضيل انظر عون المعبود ج 8 صلى الله عليه و سلم 381 والترمذي وقال حديث حسن صحيح

Kami mengatakan dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup bahwa yang paling utama dari umat nabi shallallahu `alaihi wa sallam setelah beliau adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi berkata: Hadits hasan)

Dua hadits ini merupakan dalil yang qath’i (pasti) karena Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan dua kalimat penting yang menunjukkan bahwa ucapannya tidak memiliki muatan subyektif.

Pertama, kalimat tersebut adalah: “Kami membanding-bandingkan…”, atau “Kami mengatakan……”.
Kedua kalimat tersebut menunjukkan bahwa ucapan itu adalah ucapan para shahabat seluruhnya dan tidak ada seorangpun dari mereka yang membantahnya.

Kalimat kedua adalah ucapan beliau: “Dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup…” atau dalam lafadh lain: “di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam…..”.

Ucapan ini menunjukkan bahwa ucapan para shahabat tersebut didengar dan disaksikan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam tidak membantahnya. Inilah yang dinamakan oleh ahlul hadits dengan hadits taqriri yang merupakan hujjah dan dalil yang qath’i.

2. Hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri yang diriwayatkan secara mustafidlah dari Muhammad Ibnil Hanafiyah:
قُلْتُ ِلأَبِي: أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهَ ?؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. قَلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: عُمَرُ. وَخَشِيْتُ أَنْ يَقُوْلَ عُثْمَانُ. قُلْتُ: ثُمَّ أَنْْتَ؟ قَالَ: مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخاري: كتاب فضائل الصحابة باب 4 وفتح البارى 7/20)

Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu): Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah ?? Ia menjawab: “Abu Bakar”. Aku bertanya (lagi): “Kemudian siapa?”. Ia menjawab: “Umar”. Dan aku khawatir ia akan berkata Utsman, maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku kecuali seorang dari kalangan muslimin”. (HR. Bukhari, kitab Fadlailus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20).

Bahkan Ali bin Abi Thalib radhi-yallahu ‘anhu mengancam untuk mencambuk orang yang mengutamakan diri-nya di atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
لاَ أُوْتِيَ بِأَحَدٍ يُفَضِّلُنِيْ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ إِلاَّ جَلَّدْتُهُ حَدَّ الْمُفْتَرِيْنَ.

Tidak didatangkan kepadaku seseorang yang mengutamakan aku diatas Abu Bakar dan Umar, kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.

Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
إِني لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ نَدْعُوا اللهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيْرِهِ، إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَيْهِ عَلَى مَنْكِبِي يَقُوْلُ: رَحِمَكَ اللهَ إِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ ِلأَنِيْ كَثِيْرًا مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُوْلَ اللهِ ? يَقُوْلُ: كُنْتُ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَإِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَهُمَا، فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ. (رواه البخاري في فضائل الصحابة، باب من فضائل عمر 3389 (4/1858))

"Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan Umar bin Khathab ketika telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan kedua sikunya di kedua pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni Rasulullah dan Abu Bakar) karena aku sering mendengar Rasulullah ? bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib. (HR. Al Bukhori tentang Fadhilah Sahabat, jilid 4 hal : 1858)

Hadits-hadits dari Ali bin Abi Thalib ini merupakan sebesar-besar dalil yang membuktikan kedustaan kaum Syi’ah Rafidlah yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma.

3. Bahkan ketika ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam siapa yang paling dicintainya, beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Abu Bakar”. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhuma berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ قُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ عُمَرُ فَعَدَّ رِجَالاً.

Bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mengutus pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Maka aku mendatanginya, dan bertanya kepadanya: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasulllah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)

4. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar:
ثُمَّ اقْتَدُوا بِاللَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ مِنْ أَصْحَابِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ

Kemudian ikutilah teladan orang-orang setelahku dari shahabatku yaitu Abu Bakar dan Umar…. (HR. Tirmidzi, Baihaqi dan Hakim; Lihat Silsilah Ash-Shahihah juz 3 hal. 233, hadits no. 1233)

5. Banyak isyarat dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan sekaligus isyarat bahwa beliaulah yang pantas mewakili Rasulullah shalla-llahu `alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari Jubair ibni Muth’im, dia berkata:
أَتَتِ امْرَأَةُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنَ تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ أَرَأَيْتَ إِنْ جِئْتُ وَلَمْ أَجِدْكَ كَأَنَّهَا تَقُوْلُ الْمَوْتَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ لَمْ تَجِدِيْنِيْ فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ.

Datang seorang wanita kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110; lihat Zhilalul Jannah hal. 541-542, no. 1151)

Maka dengan riwayat-riwayat ini seluruh ulama ahlus sunnah sepakat bahwa manusia terbaik setelah rasulnya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, ke-mudian Utsman kemudian Ali radhiyallahu ‘anhum.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Utsman dan Ali radhiallahu ‘anhum: “Yang demikian telah disepakati oleh para imam-imam kaum muslimin yang terkenal keilmuan dan keshalihannya dari kalangan shahabat, tabi’in, pengikut tabi’in, dan ini pula madzhab Imam Malik dan seluruh penduduk Madinah, Imam Al-Laits Ibnu Sa’ad dan seluruh ulama Mesir, al-Auzai dan seluruh penduduk Syam, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Hammad ibni Zaid, Hammad Ibni Salamah dan seluruh penduduk Iraq. Dan ini juga madzhabnya imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq Ibnu Rahuyah, Abu Ubaid dan lain-lain dari para imam-imam kaum muslimin”. (Maj-mu’ Fatawa juz IV hal. 421).

Imam Malik mengatakan bahwa itu adalah ijma’ penduduk Madinah dalam ucapannya:

مَا أَدْرَكْتُ أَحَدًا مِمَّنْ يَقْتَدِي بِهِ يَشُكُّ فِي تَقَدِّمِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرً.

Tidak kutemui satu orang pun dari ulama yang dijadikan teladan yang ragu terhadap diutamakannya Abu Bakar dan Umar di atas yang lainnya. (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/421; lihat Al-Imamatul ‘Udhma, Abdullah Ibnu Umar Ibnu Sulaiman ad-Damiji, hal. 311)

Sebaliknya barangsiapa yang menyelisihi pendapat ini, maka ia adalah orang yang lebih sesat dari keledai piaraannya.

Wallahu ta'ala a'la wa-a’lam bis-showab!


Sumber : http://sunni.abatasa.com/post/detail/7775/keutamaan-abu-bakar--umar-bin-khattab-di-atas-ali-bin-abi-thalib-rodiyallohuanhum

Selasa, 29 Mei 2012

Antara Ali Dan Mu'awiyah (r.a)

Shiffin merupakan sebuah wilayah berada di antara Kufah dan Syam. Di tempat itulah terjadi pertempuran antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Banyak pihak yang masih menilai bahwa perang tersebut disebabkan perebutan kekuasaan antara kedua sahabat muliya itu. Padahal kalau merujuk kembali sejarah yang ditulis para ulama, prasangka buruk itu tidaklah benar. Dan yang tidak pula kalah pentingnya, bahwa sebenarnya kadua sahabat tersebut beserta mayoritas umat Islam yang hidup di masa itu sama sakali tidak menginginkan pertumpahan darah, pengikut Abdullah bin Saba’ lah yang sebenarnya menjadi pemantiknya. Untuk mengetahui lebih detail mengenai persoalan itu, silahkan menyimak.

Dari Dendam terhadap Muawiyah Bermula

Peristiwa perang Shiffin tidak berdiri sendiri, dendam lama pengikut Abdullah bin Saba’ terhadap Muawiyah adalah faktor yang cukup menentukan.


Gerakan makar yang dilakukan Abdullah bin Saba’ beserta pendukungnya sudah terjadi sejak zaman Khalifah Utsman. Gerakan khas yang banyak mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan citra pejabat negara, dan menyebarkannya di tengah-tengah rakyat, hingga mereka tidak munyukai para pemimpin mereka. Amru bin Ash, gubernur Mesir adalah sasaran pertama, hingga beliau diturunkan dari jabatannya. Selanjutnya, ”kelompok Mesir” mengajak para pendukungnya yang sudah tersebar di Syam, Kufah dan Bashrah untuk melawan gubernur mereka, tapi hanya ”kelompok Kufah yang bangkit, hingga Said bin Ash, pun turun dari jabatannya. Selanjutnya, dari Kufah bergeser menuju Mawiyah yang berada di Syam. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjatuhkan Muawiyah tidak mampu mereka laksanakan, dan beliau tetap memimpin wilayah Syam walau selanjutnya mereka berhasil membunuh Khalifah Utsman.

Muawiyah telah menjabat sebagai gubernur di Syam sejak masa Khalifah Umar bin Al Khattab. Di masa Utsman menjadi khalifah, Muawiyah tetap menjadi gubernur wilayah itu. Keadaan ini tetap berlangsung hingga Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah Ustman terbunuh oleh kelompok Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’).

Posisi Gubernur Muawiyah terjaga dari gerakan ”makar Sabaiyah” disebabkan ada beberapa hal yang mendukung, yakni; bahwa di wilayah itu banyak tinggal para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), seperti Muadz bin Jabal, Ubadah bin As Shamit, Abu Darda, Abu Siad Al Khudri, Syadad bin Aus, Nu’man bin Bashir, Fudhalah bin Ubaid dan yang lainnya. Dengan demikian, penduduk Syam lebih mudah memperoleh pemahaman Islam yang baik, di bawah bimbingan para sahabat tersebut, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hasutan Khawarij Saba’iyah. Selain itu, kedekatan Muawiyah dengan rakyat Syam juga mempersulit gerakan makar ini. Apalagi Muawiyah memahami kerakter kelompok ini, karena beliau pernah berhadapan dengan mereka di saat Khalifah Utsman Masih hidup. “Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah, untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka berbuat baik-baik terimalah, akan tetapi jika mereka melemahkanmu, maka kembalikan ke Kufah”, pesan Utsman kepada Muawiyah, sebagaimana dicatat dalam Tarikh At Thabari (5/138).

Benar adanya, mereka datang kepada Muawiyah, dan meminta agar Muawiyah melepas jabatannya. Muawiyah menjawab, ”Seandainya ada orang lain yang lebih mampu daripada saya, maka saya dan yang lainnya tidak menduduki jabatan ini. Jangan tergesa-gesa, karena hal ini mirip apa yang diharapkan syetan”. Kamudian mereka dikeluarkan dari Syam.

Dan setelah wafatnya Utsman, kelompok inilah yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib. Rupanya, kesegeraan mereka melakukan bai’at, memiliki misi tersembunyi, yang perlahan-lahan tersingkap setelah nanti berbagai peristiwa yang berkenaan dengan sahabat Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah terjadi.
Permulaan Perselisihan antara Ali dan Muawiyah

Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka, atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.

Dan kelompok ini sudah bergabung dalam barisan Ali bin Abi Thalib. Sehingga Dr. Hamid Muhammad Khalifah, dalam buku beliau Al Inshaf (hal.418), menyebutkan, ”Sesungguhnya sebab-sebab yang membuat meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para ”provokator” dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang ingin memerangi Muawiyah.”

Perselisihan dimulai setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dengan sahabat Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan pergi Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali. Mengetahui demikian, Ali mengirim surat kepada gubernur Syam itu, akan tetapi surat itu tidak dibalas, hingga tiga bulan setelah syahidnya Utsman.

Sampai akhirnya Muawiyah mengutus Qubishah Al `Abasi, untuk menyampaikan kepada Amir Al Mukminin Ali, bahwa alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat, karena mereka meminta agar pelaku atas pembunuhan Utsman diadili. Ali pun mengatakan,”Ya Allah sesungguhnya saya berlepas diri kepada Engkau dari darah Utsman,”

Setelah Qubishah keluar, kaum Sabaiyah mengatakan,”Ini anjing, ini adalah utusan anjing, bunuhlah ia!” Saat itu kelompok ini mengerumuni Qubishah, akan tetapi Bani Mudhar mencegah mereka, sebagaimana disebut dalam Tarikh At Thabari (5/215).

Periwayatan ini menjukkan bahwa kaum Saba’iyah memang masih menyimpan dendam, karena gagal menjatuhkan Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam untuk ke sekian kalinya.

Di saat Ali berada di Bashrah saat terjadi perang Jamal, disebutkan Imam Al Bukhari dalam At Tarikh As Saghir (1/102), bahwa Imam Ali berada di wilayah itu hanya satu bulan, dan tidak berniat keluar menuju Syam, kecuali setelah ada desakan dari Saba’iyah.

Dalam At Tarikh At Thabari (5/282) disebutkan,”Saba’iyah inginkan Ali segera meninggalkan Bashrah, hingga mereka melakukan perjalanan tanpa meminta izin kepadanya. Sebab itulah Ali mengikuti jejak mereka, guna menyingkap apa kemauan mereka, dan itulah yang sebenarnya yang mereka inginkan.”
Al Asytar dan Ali bin Abi Thalib

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk ”memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).

Bahkan kelompok Al Asytar sempat juga mengancam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (6/40), tatkalah salah satu sahabat Al Asytar, Al Asy’as bin Qais berkata kepada beliau, ”Apakah kita hanya memperhatikan hukuman Al Asytar?” Amir Al Mukminin menjawab,”Apa hukumannya?” Al Asy’as berkata,”Hukumannya adalah timbulnya peperangan antara kita.” Beliau menjawab,”Tidakkah ada yang membakar bumi, kecuali Al Asytar?”

Sesampainya di Kufah, Amir Al Mukminin mengutus sahabat Jarir bin Abdullah Al Bajali kepada Muawiyah, untuk kembali menyeru agar Muawiyah melakukan baiat, dan memberi kabar bahwa kalangan Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya, sebagaimana disebut dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/265).

Sekali lagi, Al Asytar tidak menyukai sikap yang diambil oleh Amir Al Mukminin ini, dikarenakan kemuliaan akhlak yang dimiliki Jarir. Utusan ini kembali ke Kufah dengan memberi kabar, bahwa Muawiyah enggan melakukan baiat, dikarenakan belum ditegakkan hukum hadd kepada si pembunuh Utsman. Jika ditegakkan hadd, maka beliau bersedia melakukan baiat.

Mendengar penuturan Jarir, Al Asytar mengatakan kepada Amirul Mukminin, ”Bukankah saya telah melarangmu untuk mengutus Jarir? Kalau engkau mengutusku, maka Muawiyah tidak akan membuka pintu, kecuali aku yang menutupnya.”

Mendengar ucapan Al Asytar, Jarir membalas,”Kalau engkau yang datang, mereka akan membunuhmu, disebabkan terbunuhnya Utsman.”

Al Asytar tidak mau kalah, ”Kalau Amir Al Mukminin mematuhiku, maka ia akan mengurungmu, beserta orang-orang sepertimu, hingga perkara ini menjadi lebih baik.”. Jarir marah, hingga belau memutuskan untuk keluar dari Kufah, menuju Firqisiya’ wilayah yang pernah beliau pimpin saat menjadi gubernur di masa Utsman, kisah ini disebutkan dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah (7/294).

Sikap buruk yang membuat sahabat Jarir keluar di atas menunjukkn bahwa para pembesar pembuat fitnah sudah berada dalam tubuh kekhalifahan. Dan peristiwa ini juga menunjukkan bagaiamana usaha mereka untuk selalu menggagalkan usaha perdamaian.
Bukan Perebutan Kursi Kekuasaan

Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuat.

Setelah kembalinya utusan Amir Al Mukminin dari Syam, dan gamblangnya pendirian penduduk Syam, bahwa mereka enggan melakukan baiat, kecuali dilaksanakan hukuman hadd atas pelaku pembunuhan Utsman. Maka, eksistensi kelompok Saba’iyah semakin terancam, karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.

Tidak ada cara lain bagi mereka, kacuali mendesak Amirul Mukminin untuk menghadapi Muawiyah. Disebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/10), ”Maka para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman,yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran, agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam.”

Saat itu Amir Al Mukminin pun melihat bahwa pelaksanaan hadd tidak bisa dilakukan kacuali setelah baiat bisa diselesaikan, apalagi para pelakunya berkeliaran di sekitar beliau dan jumlah mereka pun banyak, ini semakin menyulitkan posisi beliau.
Mayoritas Umat Tak Menghendaki Perang

Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah (SAW), dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah. Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.

Diriwayatkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/267), bahwa Imam Ali telah mengirimkan pasukan pembuka, yang berjumlah 8 ribu tentara. Pasukan ini menuju Syam dengan melewati sisi kanan sungai Eufrat, sedangkan pasukan Khalifah melewati sisi kirinya. Karena khawatir adanya serangan dari Muawiyah, disebabkan sedikitnya jumlah mereka, maka pasukan ini berancana bergabung dengan pasukan Khalifah di seberang, dengan melalui penyeberangan di wilayah ‘Anat, akan tetapi apa yang terjadi, penduduk kota wilayah itu menghalangi mereka. Tidak bisa melalui ‘Anat, pasukan hendak melalui penyeberangan lainnya, yang berada di wilayah Hiit, akan tetapi, seperti yang sudah-sudah, mereka dihalangi oleh penduduk setempat. Akhirnya, mereka terlambat, dan bertemu dengan pasukan Ali yang sudah berada di depan mereka.

Selanjutnya penduduk Qirqisiya’ menghalangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib itu, sedangkan penduduk Ar Riqah mengumpulkan seluruh perahu mereka dan enggan membantu pasukan itu menyeberang menuju Shiffin, hingga mereka memutuskan untuk menyeberang di wilayah Manbaj.

Sikap Khalifah Ali yang lemah lembut terhadap mereka yang menghalangi perjalanan pasukannya menunjukkan bahwa tujuan utama bukanlah menumpahkan darah, akan tetapi melakukan ishlah (perdamaian). Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Al Asytar, yang juga berada dalam barisan yang sama, terhadap mereka yang enggan membantu penyeberangan ia mengancam ”Jika tidak kalian lakukan, aku benar-benar akan membunuh para laki-laki, merusak tanah atau mengambil harta.” Riwayat ini termaktub dalam Tarikh At Thabari (5/229).

Awal mulanya, Khalifah masih mempercayai Al Asytar, karena tidak menilai, bahwa pria itu adalah salah satu pembunuh Utsman, walau ia adalah salah satu pemimpin Khawarij. Akan tetapi ada indikasi bahwa akhirnya beliau merubah pandangan tersebut. Diceritakan Al Hakim dalam Al Mustadrak (3/107), bahwa saat itu, penduduk Nakha’ berkumpul di dalam rumah Al Asytar. Ali bin Abi Thalib menyeru kepada mereka,”Apakah di dalam rumah hanya ada Al Asytar?” Mereka menjawab, ”tidak.” Khalifah kembali mengatakan,”Umat ini bersandar kepada kaluarga yang paling baik, akan tetapi mereka telah membunuhnya (Utsman). Sesungguhnya kami memerangi Bashrah karena baiat yang kami takwilkan, sedangkan kalian bergerak menuju sebah kaum yang kami tidak dibaiat oleh mereka (Syam), handaklah setiap orang melihat, dimana pedang harus diletakkan.”

Dialog di atas menunjukkan bahwa Amirul Mukminin telah memperingatkan Al Asytar, mengenai keputusannya untuk pergi ke Shiffin, dan menjelaskan bahwa tidak perlu dilakukan pertempuran di sebuah wilayah yang tidak terikat oleh Baiat, semisal Syam.

Niatan Amirul Mukminin untuk tidak mengutamakan kekuatan senjata didukung dengan riwayat yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/127) yang menyebutkan, bahwa Khalifah Ali mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam, bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Iraq untuk ingin mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah. Ketika perkara itu sampai kepada Muawiyah, beliau naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jama’ah, ”Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Iraq untuk kalian. Apa pendapat kalian?” Para jama’ah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan, ”Anda yang berfikir, kami yang melaksanakan.” Akhirnya Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi 3 bagian.

Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali bin Abi Thalib lalu mengabarkan, apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jama’ah, ”Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?” Semua hadirin terheran dan berbiacara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar, dengan mengatakan, ”la haula wa la quwwata ila billah.”
Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?

Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut mambaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan, ”Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”

Disebutkan juga oleh Ibnu Katsir bahwa, setelah Ali dibaiat, para tokoh sahabat beserta Thalhah dan Zubair menemui beliau dan meminta agar dilaksanakan hukuman kepada para pembunuh Utsman. Ali menyatakan udzur untuk melaksanakan hal itu di waktu itu, karena kekuatan mereka yang besar dan memiliki pendukung. Bahkan Ali meminta kepada Zubair untuk memerintah Kufah dan Thalah untuk memerintah Bashrah, dan beliau siap membekali keduanya dengan pasukan, agar bisa memperkuat dalam menghadapi kekuatan kaum Khawarij.

Akhirnya para sahabat, termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi lagi Ali, setelah menunggu beberapa waktu dan melihat Khalifah belum melakukan ”apa-apa” untuk menghukum kaum Khawarij. ”Wahai saudaraku, bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka, apakah kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian inginkan?” Mereka menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan,”Tidak, demi Allah saya tidak melihat, kacuali apa yang telah kalian lihat insyaallah.”

Jelas, dari penjelasan di atas, tidak diragukan lagi, Ali sendiri berkeinginan untuk menegakkan hadd kepada para pembunuh Utsman, tapi beliau merasa kesulitan, karena mereka sendiri berada di sekeliling khalifah, dan kekuatan mereka tidak bisa diremehkan, hingga para sahabat pun mengakui hal tersebut.
Upaya Perdamaian di Shiffin

Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/272) disebutkan bahwa Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dengan mengatakan, ”Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga sepertinya?” Muawiyah menjawab, ”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengatahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukankah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdzalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya, agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya.

Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan beliau mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”

Dalam Minhaj As Sunnah (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.”

Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain, kecuali pihak pengikut Saba’iyah yang berada di barisan Amirul Mukminin, yang selalu menginginkan adanya konflik antara Ali dan Muawiyah. Dan Muawiyah tetap berdiri tegak guna melawan para pengikut Abdullah bin Saba’ yang berada dalam pasukan Khalifah.
Khawarij yang Berbalik ”Menikam”

Khalifah Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak, tapi kaum Saba’iyah terus berusaha memantiknya.

Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram di tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujjah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”

Pasukan Syam menyambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam Al Aqdu Al Farid (4/3140) disebutkan bahwa kedua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.

Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam Minhaj As Sunnah (6/237).

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang.
Terbunuhnya Amar bin Yasir

Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah (SAW) telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Tarikh As Saghir (1/104).

Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam Al Majma’ Az Zawaid (7/244) ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya,”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab,”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.
Meninggikan Mushaf

Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah,”Jika kita besok baru berhenti (bertenpur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”

Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan ketururnan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”

Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq diantara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, diantara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab beliau.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, para pengikut Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk berdamai, mereka ingin agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka,”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah (SAW) saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”.

Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah (SAW). Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir. Peristiwa Tahkim Tahkim adalah penunjukkan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil, dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy’ari untuk menjadi penengah. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ibnu Hibban dalam At Tsiqat (2/293), hasil tahkim berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalm satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang.

Dari kandungan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Muawiyah tidak ada keharusan untuk membaiat Ali, bagitu juga Ali, tidak ada keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman. Dengan demikian, tidak ada lagi peperangan antara Syam dan Iraq, Muawiyah tetap tidak membaiat Ali, dan Ali pun tetap tidak menghukum para pembunuh Utsman. Dan konflik pun bergeser antara Khalifah Ali dengan Kaum khawarij, yang semula menjadi pendukung Amir Al Mukminin, yang tidak menyukai perdamaian antara Iraq dan Syam. Lantas mereka mengisukan bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan hasil yang telah diputuskan. Hingga akhirnya beliau menegaskan,”Barang siapa mengira bahwa aku tidak setuju dengan hasil tahkim, maka ia telah berbohong, barang siapa berfikiran demikian maka ia telah sesat.

Akhirnya kaum Khawarij keluar dari masjid, dengan mengatakan,”la hukma illa lillah”, atau tidak ada hukum selain hukum Allah. Sehingga ada yang mengatakan kepada Khalifah, ”Mereka telah keluar dari ketaatan terhadapmu. ”Saya tidak akan memerangi mereka, hingga mereka memerangi kami, dan mereka akan melakukannya.”

Hal ini disebutkan Ibnu Abdi Rabbih dalam Al Aqdu Al Farid (2/218). Gerakan Khawarij tidak berhenti sampai di sini, mereka masih tetap bernafsu tidak hanya membunuh Muawiyah, tapi membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib serta Amru bin Ash. Ali bin Abi Thalib menjadi incaran, karena mereka merasa bahwa kedok mereka sudah terbuka secara sempurna dihadapan Khalifah, dan tidak ada yang bisa ditutupi dari gerakan mareka. Dan pembunuhan itu masih belum sempurna, kacuali jika menyertakan Muawiyah dalam terget serupa. Sedangkan Amru bin Ash ikut menjadi target, karena beliau adalah musuh pertama kelompok ini, di saat beliau berkuasa di Mesir, sehingga jika beliau tidak dibunuh, maka keberadaan beliau juga berpotensi untuk mengancam gerakan kelompok ini, beliau tidak ada bedanya dengan Muawiyah.

Ditugaskan tiga orang, untuk membunuh tiga sahabat mulia itu, Ibnu Muljim, sahabat dekat Ibnu Saba’ dari kalangan Khawarij menyerang Ali bin Abi Thalib di malam ke 17 dari bulan Ramadhan tahun 40 H, dengan menebaskan pedang, hingga mengenai kening beliau. Setelah bertahan selama dua hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib akhirnya wafat. Sedangkan Al Burk bin Abdullah Al Khariji, yang bertugas membunuh Muawiyah malah terbunuh terlebih dahulu oleh beliau, dengan pedangnya sendiri. Sedangkan Amru bin Bukair yang ditugaskan membunuh Amru bin Ash, malah membunuh salah satu petugas, yang disangkanya sasarannya, hingga kedua sahabat itu selamat dari pembunuhan. Inilah peristiwa beruntun yang dilakukan kelompok Abdullah bin Sabba’ terhadap para sahabat mulia, hingga terjadi fitnah besar yang menyebabkan bertumpahnya banyak darah.

Mudah-mudahan umat Islam bisa mengambil ibrah dari rentetan peristiwa ini. Allahu’alam bishawab.

Kamis, 05 April 2012

Memahami Kelainan Syiah, Sebuah Nota Kesepahaman

Tulisan ini tidak hendak bertujuan menyerang kepercayaan Syiah, apalagi mencacinya. Sebab bukanlah hal yang bijak berdakwah dengan mencaci. Lagi pula masalah kepercayaan adalah hak yang tidak bisa dicegah atau dipaksakan. Terlebih-lebih para “tokoh” bangsa ini sudah terlanjur sepakat untuk melarang negara ikut campur kedalam masalah agama, kecuali masalah haji dan beberapa masalah yang membawa keuntungan politis dan materi.

Tulisan ini adalah kesan singkat penulis saat membaca buku “40 Masalah Syiah” yang ditulis seorang pendakwah Syiah, Emilia Renita. [1] Dalam pengantarnya, ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) yang sekaligus sebagai Editor dan Suami penulis buku ini mengaku bahwa buku tersebut ditujukan sebagai pedoman dakwah untuk seluruh anggota IJABI dan untuk menumbuhkan saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam. Sementara Emilia sendiri mengaku bukunya ditulis bukan untuk menghujat, menyerang dan mengkafirkan Ahlussunnah. Meskipun pada saat yang sama, buku ini secara aktif dan provokatif menyebarkan paham kebencian kepada Sahabat Nabi, mengkampanyekan kawin kontrak (mut’ah) dan beragam pengeliruan terhadap ajaran Ahlussunnah, termasuk tuduhan bahwa ulama Sunni membenarkan adanya tahrif dalam al-Qur'an dengan menjungkirbalikkan makna beberapa Hadits yang diyakini kesahihannya oleh kaum Sunni. [2]

Dalam konteks al-Qur'an, tahrif berarti penambahan atau pengurangan lafadz atau huruf (perombakan redaksi) dari teks al-Qur'an yang asli. Mempercayai tahrif berarti meyakini bahwa al-Qur'an sebagai wahyu yang diberikan kepada Rasulullah saw tidak sempurna. Al-Qur'an memberi contoh dalam hal ini kebiasaan orang-orang Yahudi yang gemar melakukan tahrif terhadap kitab sucinya. Allah berfirman, "Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, 'Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya'." QS. Al-Nisa’ [4] : 46. Allah juga berfirman, "Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya". (QS. Al-Maidah [5] : 13)


Dalam bukunya, Emilia menampik tuduhan adanya tahrif al-Qur'an dalam akidah Syiah dan menyatakan bahwa pendapat tahrif di kalangan ulama Syiah adalah lemah. Pembuktian masalah tahrif dalam tulisan ini yang mungkin akan dikesankan nithili akidah Syiah. Meskipun sebenarnya pembuktian tersebut lebih bertujuan pemaparan tentang perbedaan prinsip yang seringkali menimbulkan kegelisahan di akar rumput yang memerlukan perhatian khusus.

Memahami Keyakinan Syiah tentang al-Qur'an


Tuduhan bahwa ada penambahan atau pengurangan (tahrif) ayat-ayat al-Qur'an di kalangan Syiah dibantah keras oleh Emilia. Menurutnya, sejak dulu sampai sekarang para ulama Syiah menolak adanya tahrif dalam al-Qur'an. Lalu beliau mengutip beberapa pendapat ulama besar Syiah ketika menafsirkan QS. Al-Hijr [15] : 9, "Sesungguhnya Kami menurunkan peringatan (al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" yang tertulis dalam Tafsir al-Shafi, Majma’ al-Bayan, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, dan al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. [3]


Memang dalam menafsiri QS. Al-Hijr [15] : 9, menurut pemaparan Emilia keempat kitab tafsir ulama Syiah tersebut menguatkan jaminan Allah dalam menjaga al-Qur'an. Namun dalam penafsiran ayat-ayat lainnya, tersisip ayat-ayat 'asing' dalam kitab-kitab tafsir Syiah tersebut. Sebagai contoh dalam kitab “Tafsir al-Shafi” karya al-Faidh al-Kasyani (1007H-1091H), ada tambahan lafadz asing dalam ayat Kursi yang tidak pernah dikenali kaum Muslimin pada umumnya. Beliau menukil dari Ridha a.s., bahwa setelah lafadz: "lahu ma fi l-samawati wa ma fi l-ardh", ada penambahan lafadz, "Wa ma baynahuma wa ma tahta l-tsara ‘alim al-ghayb wa l-syahadah al-rahman al-rahim". [4] Penambahan lafadz pada ayat Kursi seperti itu juga dikuatkan oleh Abu ‘Ali al-Thabarsi (460H-546H) dalam kitabnya “Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an”. [5]


Abul Qasim al-Khuiy (1317H/1899M-1984M) seorang ulama besar penulis “al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an” yang menjadi kebanggaan tokoh-tokoh Syiah sedunia, menjelaskan bahwa Syiah Imamiyah dari dulu hingga sekarang menolak adanya tahrif dalam al-Qur'an. Kemudian beliau menuduh Ahlussunnah lah yang mempercayai adanya tahrif. Karena tidak bisa membuktikan tuduhannya dengan memberi contoh dari ulama Sunni yang melakukan tahrif, maka beliau mengatakan:
إن القول بنسخ التلاوة هو بعينه القول بالتحريف والإسقاط

“Meyakini adanya bacaan (ayat-ayat) yang di-naskh, sama saja meyakini adanya tahrif dan pengguguran (dalam al-Qur'an)”.

Beliau juga berkata:


إن القول بالتحريف هو مذهب أكثر علماء أهل السنة لأنهم يقولون بجواز نسخ التلاوة

“Sesungguhnya pendapat adanya tahrif (dalam al-Qur'an) adalah mazhab mayoritas ulama Ahlussunnah, sebab mereka meyakini adanya bacaan yang dinasakh (naskh l-tilawah)”. [6]

Tentunya pendapat al-Khuiy tersebut tidak bisa dibenarkan, sebab Allah swt., telah berfirman:
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah [5] : 106)

Dalam QS Ar Ra’d [13] : 39, Allah juga berfirman:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).”


Memahami Inkonsistensi Ulama Syiah


Dakwaan bahwa Ahlussunnah melakukan tahrif dalam al-Qur'an dilontarkan al-Khuiy karena Ahlussunnah mempercayai adanya hukum nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an. Al-Khuiy kemudian menyebutkan beberapa contoh “tahrif” yang dilakukan oleh Ahlussunnah, misalnya dihapusnya ayat rajam yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, yakni al-syaikhu wa l-syaikhatu idza zanaya farjumuha al-battah, yang tidak lagi termaktub dalam al-Qur'an. [7] Emilia juga melakukan tuduhan yang sama tentang masalah ini dalam bukunya. [8]


Padahal banyak tokoh-tokoh ulama Syiah yang juga menguatkan hukum nasakh dalam al-Qur'an, tetapi al-Khuiy tidak mengklaim Syiah sebagai pelaku tahrif. Bahkan di kalangan ulama pembesar Syiah menetapkan bahwa ayat rajam seperti yang diriwayatkan Umar di atas, telah dinasakh bacaannya namun hukumnya tetap berlaku. Pendapat seperti ini dapat disimak dari ulama kenamaan Syiah, di antaranya: (1) Abu Ali al-Thabarsi dalam kitabnya, “Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an”, vol. I, hal. 406, beliau berkata: “Nasakh dalam al-Qur'an ada bermacam-macam, di antaranya dihapus bacaannya tetapi hukumnya tetap berlaku, seperti ayat rajam”. 2) Abu Ja’far al-Thusi dalam kitabnya “al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an”, vol. I, hal. 13. (3) Abd al-Rahman al-ʻAtaʼiqi al-Hilli dalam kitabnya “al-Nasikh wa l-Mansukh”, hal. 35. (4) Muhammad Ali dalam kitabnya “Lamhat min Tarikh al-Qur'an”, hal. 22. (5) Muhammad Baqir Majlisi dalam kitabnya “Mir’atul ‘Uqul”, hal. 267.


Al-Khuiy memang menolak tahrif dalam al-Qur'an. Dalam karyanya, al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, beliau menegaskan dalam satu fasal khusus tentang keterjagaan al-Qur'an dari tahrif (shiyanatul Qur’an min al-tahrif). Di akhir fasal ini beliau menulis: “Seperti yang telah kami sebutkan (sebelumnya), sungguh menjadi jelaslah bagi para pembaca bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang tahrif dalam al-Qur'an adalah Hadits khurafat dan khayalan belaka yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya…” [9]


Namun uniknya, dalam kitabnya yang sama, beliau malah terjerumus meyakini adanya tahrif. Misalnya, beliau menulis: “Sesungguhnya banyaknya periwayatan yang menyebutkan adanya tahrif dalam al-Qur'an diwarisi secara meyakinkan, yang sebagiannya muncul dari orang-orang yang maksum (imam-imam Syiah, pen)… dan sebagiannya diriwayatkan dengan jalan yang terpercaya”. (al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal. 226) [10]. Beliau juga berkata: “Tidak mungkin ada yang bisa menghimpun al-Qur'an seluruhnya kecuali orang-orang yang diberi wasiat (imam-imam Syiah, pen)”. [11] Beliau juga mengatakan: “Jikalau al-Qur'an dibaca seperti apa yang diwahyukan, tentu kamu akan mendapati nama-nama kami (yakni nama imam-imam Syiah yang dianggap maksum, pen)”. [12] Lebih lanjut beliau berkata: “Jibril menurunkan ayat kepada Muhammad seperti ini, “wa in kuntum fi raybin mimma nazzalna ‘ala ‘abdina fi ‘aliyyin fa’tu bi suratin min mitslih”. [13] Dengan demikian dapat dipastikan bahwa al-Khuiy dan kalangan ulama Syiah lainnya mengakui kebenaran riwayat-riwayat yang membincangkan Mushaf Ali yang berbeda dengan al-Qur'an yang ada saat ini, baik dari sisi urutan surat, maupun dari sisi kekurangan ayat-ayat yang belum tercantum dalam al-Qur'an yang ada saat ini, seperti nama-nama Imam Syiah. [14]


Sebenarnya, masih banyak ulama Syiah yang menyangsikan validitas mushaf al-Qur'an yang ada saat ini. Sayyid Adnan al-Bahrani dalam kitabnya, “Masyariq al-Syams al-Duriyah” menyebutkan bahwa riwayat-riwayat dari Ahlulbait sangat banyak, jika tidak dibilang mutawatir, yang menyatakan bahwa al-Quran di tangan kita saat ini bukan al-Qur'an yang selengkap yang diturunkan kepada Muhammad saw. Bahkan dalam al-Qur'an yang sekarang ini ada yang bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah, ada juga yang sudah dirubah, dan banyak juga ayat-ayat yang dihapus, seperti dihapusnya nama "Ali" di banyak ayat, dihapusnya lafadz "Alu Muhammad" (keluarga Muhammad), nama orang-orang munafiq dan lain sebagainya. Dan al-Qur'an sekarang ini bukanlah berdasarkan susunan yang diridai Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang disebut dalam kitab tafsir Ali bin Ibrahim. [15]


Al-Sultan Muhammad al-Janabadzi dalam kitab tafsirnya, “Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-‘Ibadah” dalam muqaddimah tafsirnya menyebutkan sebuah fasal yang menetapkan adanya tahrif dalam al-Qur'an. Beliau menegaskan hal ini dalam fasal ketiga belas, “Masalah terjadinya penambahan, pengurangan, mendahulukan, mengakhirkan dan perubahan dalam al-Qur'an yang ada di tangan kita sekarang ini..” [16]


Memahami Bagaimana Cara Syiah Memfitnah


Syiah, seperti halnya yang dilakukan Emilia, seringkali menampik bukti riwayat-riwayat yang dikutip langsung dari kitab-kitab Syiah seperti “al-Kafi” dan “al-Qummi” tentang tahrif al-Qur'an dan mengatakan bahwa semua ulama Hadits di kalangan Syiah sepakat tentang kelemahan Hadits-Hadits itu. [17]


Kemudian Emilia malah balik menuduh Ahlussunnah-lah yang meyakini adanya tahrif dalam al-Qur'an, dan menetapkan sepihak kesahihan Hadits-Hadits tahrif dari Ahlussunnah atau menjungkirbalikkan beberapa Hadits Sahih Bukhari dan Muslim yang diklaimnya mengandung pengakuan adanya tahrif. Dalam bukunya, Emilia memberi contoh sekitar 10 Hadits dari Ahlussunnah yang dia klaim seluruhnya sahih. [18] Mengingat keterbatasan ruang, tidak semua contoh-contoh yang dipaparkan Emilia akan dibahas keseluruhan.

Emilia menulis sebagai berikut:


“Dari Nafi’ dari Ibnu Umar: Janganlah kamu mengatakan aku sudah menghapal seluruh al-Qur'an, karena kamu tidak tahu seluruhnya. Banyak sekali yang hilang dari al-Qur'an. Katakana saja: Aku telah menghapal apa yang ada dalam al-Qur'an sekarang ini”. (al-Itqan 2:25)


Teks asli yang dimaksud dari kutipan Emilia di atas adalah sebagai berikut:
قال أبو عبيد‏:‏ حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن نافع عن ابن عمر قال‏: لا يقولن أحدكم قد أخذت القرآن كله وما يدريه ما كله قد ذهب منه قرآن كثير ولكن ليقل قد أخذت منه ما ظهر

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Ayub dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata “Janganlah ada salah seorang dari kalian mengatakan ‘sungguh aku telah mengambil al-Qur'an seluruhnya’. Tahukah ia apa seluruhnya (dari al-Qur'an) itu? Sungguh telah sirna darinya banyak (ayat-ayat) Al Qur’an. Akan tetapi hendaknya ia mengatakan “sungguh aku telah mengambil darinya apa yang tampak (dari al-Qur'an)”. [19]


Ada riwayat yang juga menyebutkan atsar semisal ini yang disandarkan dari Umar ibn Khattab. Padahal atsar yang disandarkan kepada beliau tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab Hadits. Atsar di atas diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dan disandarkan kepada Ibnu ‘Umar. Atsar ini dapat dijumpai dalam kitab “Fadha’il al-Qur'an” dan mengandung makna nasakh, bukan tahrif. Sedangkan hukum nasakh tidak bertentangan dengan Janji Allah yang berkenaan dengan terjaganya al-Qur'an. Sementara adanya ayat-ayat yang dinasakh secara tegas dinyatakan dalam Firman Allah QS. Al-Baqarah : 106. Imam al-Suyuthi dalam “al-Dibaj” menukil perkataan Imam al-Qurthubi: “Dan janganlah menduga-duga atau menyerupakannya dari hal ini (masalah hukum nasakh) bahwa sebagian ayat al-Qur'an telah hilang. Sebab pendapat seperti itu adalah batil, tidak benar. [20]


Maka dengan meneliti pendapat Imam al-Suyuthi dalam karyanya, “al-Dibaj”, fitnahan kaum Syiah bahwa Ahlussunnah, khususnya terhadap Imam al-Suyuthi, meyakini adanya tahrif otomatis terbantahkan. Sebab dalam kitab “al-Itqan” pun, juga tidak ada bukti tertulis bahwa beliau mengakui adanya tahrif, atau memaknai atsar tersebut sebagai justifikasi adanya tahrif dalam al-Qur'an.


Fitnahan berikutnya berkenaan tahrif yang dilakukan Ahlussunnah, Emilia menukil riwayat berikut dalam bukunya:



“al-Bukhari meriwayatkan dalam tarikhnya dari Hudzaifah: Aku membaca surat al-Ahzab pada zaman Nabi saw sebanyak 200 ayat. Ketika Utsman menuliskan mushaf, al-Ahzab hanya mencapai sejumlah ayat yang sekarang ini”. (al-Itqan 2:25, Manahil al-Irfan 1:27, al-Durr al-Mantsur 5:180)


Teks asli yang dimaksud dari kutipan yang dinukil Emilia di atas adalah sebagai berikut:
قال: حدثنا ابن أبي مريم عن أبي لهيعة عن أبي الأسود عن عروة بن الزبير بن عائشة قالت: كانت سورة الأحزاب تقرأ في زمن النبي صلى الله عليه وسلم مائتي آية، فلما كتب عثمان المصاحف لم نقدر منها إلا ما هو الآن.

(Abu 'Ubayd) berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibn Abi Maryam dari Abu Lahi’ah, dari Abu l-Aswad dari ‘Urwah ibn al-Zubair dari ‘Aisyah yang berkata: “Dahulu surah al-Ahzab itu dibaca di zaman Nabi saw., sebanyak 200 ayat. Lalu ketika Utsman menulis mushaf-mushaf kita tidak bisa (menemukan) darinya kecuali yang sekarang ada ini.” [21]


Atsar ini di-takhrij dalam "Fadhail al-Qur'an" vol. 2, hal. 146, no. 700, dalam isnad-nya terdapat Abu Lahi'ah dan sanadnya lemah. Atsar ini menurut tuduhan Syiah mengandaikan bahwa ada banyak ayat dalam surat al-Ahzab yang tercecer dan tidak mampu dihimpun oleh Utsman bin Affan, kecuali hanya sejumlah ayat-ayat yang ada dalam surat al-Ahzab saat ini. Riwayat dalam atsar ini batil, tidak sah dan tidak bisa diterima akal sehat. Para Ulama telah menjelaskan bahwa banyak sekali ayat-ayat yang sudah dinasakh baik dari sisi bacaannya maupun hukumnya, kecuali ayat rajam yang hanya dinasakh bacaannya tapi hukumnya tetap berlaku. Dan seperti dijelaskan di atas bahwa kedudukan hukum nasakh berbeda dengan tahrif. Sementara hukum nasakh tidak terjadi kecuali pada masa Rasulullah masih hidup. Di sisi lain, atsar ini jelas bertentangan dengan Janji Allah yang akan menjaga al-Qur'an. Maka bagaimana bisa diandai-andaikan bahwa ada sebagian ayat al-Qur'an yang hilang di tangan seluruh Sahabat Nabi?! [22]



Senada dengan pendapat di atas, Syeikh Ibnu ‘Asyur dalam kitab “Tafsir al-Tahrir wa l-Tanwir”, mengomentari atsar tentang surat al-Ahzab yang berisi 200 ayat adalah lemah dari sisi sanadnya. [23]


Riwayat lain berkenaan dengan hilangnya ayat-ayat dalam surat al-Ahzab yang sering dirujuk dan digemari kaum Syiah untuk memfitnah Ahlussunnah sebagai pelaku tahrif [24] adalah sebagai berikut:
وقال حدثنا إسماعيل بن جعفر عن المبارك بن فضالة عن عاصم بن أبي النجود عن زر بن حبيش قال: قال لي أبي بن كعب: "كأين تعد سورة الأحزاب؟ قلت: اثنتين وسبعين آية أو ثلاثا وسبعين آية. قال: إن كانت لتعدل سورة البقرة

Disampaikan kepada kami oleh Isma’il ibn Ja’far, dari al-Mubarak ibn Fadhalah, dari ‘Ashim ibn Abi al-Najud dari Zirr ibn Hubais berkata: Ubay ibn Ka’b berkata padaku, Berapa (ayat) surat al-Ahzab kamu hitung? Aku menjawab: Sekitar 72 atau 73 ayat. Beliau berkata dulunya (surat al-Ahzab) setara dengan surat al-Baqarah.


Atsar ini di-takhrij oleh Abu 'Ubaidah dalam "Fadhail al-Qur'an" vol II, hal. 146-147, dalam isnad-nya terdapat al-Mubarak ibn Fadhalah, ia adalah mudallas. [25]


Senada dengan atsar di atas, dalam kitab “Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal” juga menjelaskan melalui mata rantai sanad Abdullah, Wahab ibn Baqiyyah, Khalid ibn ‘Abdullah al-Thahhan, Yazid ibn Abi Ziyad, Zirr ibn Hubais:
عن أبي بن كعب قال: كم تقرؤون سورة الأحزاب؟ قال: بضعا وسبعين آية. قال: لقد قرأتها مع رسول الله مثل البقرة، أو أكثر منها، وإن فيها آية الرجم

Dari Ubay ibn Ka’b, beliau bertanya: Berapa (ayat) kalian baca surat al-Ahzab? Lalu dijawab: sekitar 70an ayat lebih sedikit. Lalu beliau berkata: Aku pernah membacanya bersama Rasulullah seperti al-Baqarah, atau bahkan lebih panjang lagi, dan sungguh di dalamnya ada ayat rajam.


Atsar ini sanadnya lemah, karena ada Yazid ibn Abi Ziyad. Ibn Ma'in berkata: Atsar ini tidak bisa dijadikan argumen, Ibn al-Mubarak berkata: campakkan ia (jangan dipakai). Sedangkan 'Ashim ibn Bahdalah, meskipun beliau shaduq (terpercaya), tetapi terdapat syak mengingat hapalan beliau yang lemah. Sedangkan matan dalam atsar ini terhitung mungkar karena ada perkataan: "Aku pernah membacanya bersama Rasulullah". [26]


Demikianlah cara-cara Syiah memfitnah Ahlussunnah sebagai pelaku tahrif, baik dengan mengambil riwayat-riwayat yang lemah, maupun memutarbalikkan pesan yang terdapat dalam sebuah Hadits atau dengan melakukan pentakwilan yang jauh dari makna sebenarnya. Maka cukuplah perkataan Imam al-Alusi al-Baghdadi dalam menyikapi berbagai fitnahan tentang adanya tahrif dalam al-Qur'an:
والحق أن كل خبر ظاهره ضياع شيء من القرآن إما موضوع وإما مؤول

Sejatinya bahwa setiap pemberitaan yang sisi zahirnya (memberitakan) hilangnya sesuatu (ayat) dari al-Qur'an, (bisa dipastikan bahwa pemberitaan tersebut) baik itu palsu maupun ditakwilkan. [27]


Memahami Induk Rujukan Ajaran Syiah



Kaum Syiah memiliki sejumlah kitab induk yang menjadi rujukan utama mereka dalam beragama. Jika kaum Sunni di bidang Hadits berpedoman kepada kitab-kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Turmudzi, Sunan an-Nasai, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Muwatta’ Malik, dsb., maka kaum Syiah memiliki pedoman kitab-kitab Hadits sendiri. Syi'ah hanya mempercayai hadis yang diriwayatkan oleh keturunan Nabi Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadis yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Nabi Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal. [28]



Syiah mempunyai pemahaman tersendiri tentang definisi Hadits. Dalam majalahnya, penganut Syiah di Indonesia menjelaskan pengertian Hadits sebagai berikut:


Apa yang disebut Sunnah atau Hadis oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh ma’shum yang berjumlah 14. Dengan demikian, era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Karena faktor itulah kitab-kitab hadis Syiah ditulis dan dikodifikasikan dalam beberapa periode yang berbeda. Tapi itu tidak berarti bahwa kitab hadis Syiah baru ada di abad ke7 seperti diklaim sebagian orang. Jumlah hadis Syiah juga lebih banyak daripada hadis Sunni. [29]


Oleh karena itu, rujukan kitab Hadits yang dipakai Sunni dan Syiah berbeda. Kaum Syiah memiliki empat kitab yang dipandang sebagai rujukan utama di bidang Hadits. Kitab-kitab tersebut adalah “al-Kafi” (karya Muhammad ibn Ya’qub ibn Ishaq al-Kulayni, w. 329H, terdiri dari 16.000 hadits), “Man La Yahduruhu al-Faqih” (Muhammad ibn 'Ali ibn Babawaih al-Qummi, w. 381H, berisi sekitar 16.000 hadits), “Tahdhib al-Ahkam” (terdiri dari 13.590 hadits) dan “Al-Istibshar” (terdiri dari 5.511 hadits). Kedua kitab terakhir ini ditulis oleh Abu Jafar Muhammad Ibn Hassan Tusi, w. 460H/1067M.


Kitab “al-Kafi” merupakan salah satu kitab terpercaya bagi penganut Syiah dan dianggap sebagai ensiklopedia Hadits terlengkap dalam ilmu-ilmu keislaman. Al-Kafi terdiri dari tiga bagian, Usul al-Kafi, Rawdat al-Kafi, dan Furu’ al-Kafi. Jalur periwayatan Hadits-Hadits dalam kitab ini diyakini bersambung langsung dari imam-imam yang terbebas dari dosa (ma’sum). Para ulama Syiah (diantaranya al-Faidh al-Kasyani, al-Mufid, al-Syahid al-Awwal, w.786H, al-Majlisi, al-Syahid al-Tsani w.965H) sangat menghormati kitab al-Kafi dan memandangnya sebagai salah satu kitab terbesar Syiah dan paling banyak manfaatnya. Ia juga diyakini sebagai kitab Hadits yang belum ada tandingannya, paling mulia, paling terpercaya, paling lengkap dan sempurna. [30]

Kononnya, di kalangan ulama Syiah masih terjadi perbedaan pendapat tentang kesahihan Hadits-Hadits dalam kitab al-Kafi. Bahkan ada yang mengatakan sekitar 9.485 Hadits lemah dalam kitab ini. Namun meskipun demikian, banyak sekali ulama Syiah yang mengutip kitab al-Kafi untuk menguatkan pendapat bahwa masih banyak ayat-ayat yang belum tertulis dalam al-Qur'an yang ada saat ini. Di antaranya adalah kitab “al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an” seperti yang telah disinggung di atas.


Makmun al-Jawi, seorang intelek muda yang cukup intens terlibat pembahasan tentang akidah Syiah menjelaskan bahwa praktek akidah tahrif Al Qur’an dalam Syi’ah, bisa kita lihat dalam kitab-kitab Tafsir Al Qur’an Syi’ah, seperti; Tafsir Al Qummi, Tafsir As Shafi, Tafsir Mir-atul Anwar wa Misykatul Asrar, Tafsir Muhammad Husein Al Ashfahani, Tafsir Al Burhan, Tafsir Bayanus Sa-‘adah fi Maqamatil ‘Ibadah, Tafsir Syubbar, Tafsir Majma-‘ul Bayan, dan Tafsir Aala-ur Rahman.



Di antara Hadits-Hadits ganjil yang menjelaskan tahrif al-Qur'an dalam kitab al-Kafi adalah sebagai berikut:

عن الصادق قال : إن القرآن الذي نزل به جبريل على محمد سبعة عشر ألف آية، والتي بأيدينا ستة آلاف ومائتان وثلاث وستون آية والبواقي مخزونة عند أهل البيت فيما جمعه علي عليه السلام.

a) Dari al-Shadiq berkata: “Sesungguhnya al-Qur'an yang diturunkan Jibril kepada Muhammad 17.000 ayat, sementara yang di tangan kita hanya 6.263 ayat dan sisanya tersimpan di Ahli Bait yang dikumpulkan oleh Ali a.s.” (Ushul al-Kafi, vol. I, hal. 110).


عن الصادق قال : القرآن الذي جمعه علي هو مثل قرآنكم ثلاث مرات، والله ما فيه من قرآنكم حرف واحد، مكثت فاطمة بعد موت أبيها خمسة وسبعين يوما صبت عليها مصائب من الحزن لا يعلمها إلا الله، فأرسل الله إليها جبريل يسليها ويعزيها ويحدثها عن أيبها وعما يحدث لذريتها، وكان علي يستمع ويكتب ما سمع حتى جاء به مصحفا قدر القرآن ثلاث مرات ليس فيه شيء من حلال وحرام ولكن فيه علم ما يكون.


b) Dari al-Shadiq berkata: “Sesungguhnya al-Qur'an yang dikumpulkan Ali adalah tiga kali lipat dari al-Qur'an yang kalian baca (saat ini), demi Allah tidak ada di dalamnya satu huruf pun dari al-Qur'an kalian. Fathimah berdiam diri sepeninggal ayahnya (Rasulullah saw) 75 hari karena didera kesedihan yang tidak diketahui kecuali Allah. Maka Allah pun mengirimkan Jibril untuk menghiburnya, menguatkannya dan berbicara kepadanya tentang ayahnya, serta apa yang bakal terjadi kepada keturunannya. Sementara Ali mendengarkan dan menulis sehingga terkumpul sebuah mushaf tiga kali lipat lebih banyak dari al-Qur'an yang di dalamnya tidak sedikitpun terkandung masalah halal dan haram, tetapi berisi ilmu pengetahuan tentang apa yang akan terjadi”. (Ushul al-Kafi, vol. I, hal. 115, lihat juga vol. I, 1388H, Dar al-kutub al-Islamiyyah, Teheran, hal.239)
عن أبي عبد الله الصادق: أن القائم يخرج المصحف الذي كتبه علي وأني المصحف غاب بغيبة الإمام.
Dari Abi Abullah al-Shadiq, bahwasanya al-Qaim (Imam Mahdi, Ratu Piningit) akan mengeluarkan mushaf yang ditulis Ali , dan bahwasanya mushaf tersebut menghilang dengan menghilangnya Sang Imam. (Ushul al-Kafi, vol I, hal. 111)

Makmun al-Jawi menyimpulkan bahwa Hadits dalam kitab al-Kafi tersebut pada hakekatnya menjelaskan bahwa ayat-ayat yang termaktub dalam al-Qur'an saat ini hanya sepertiga dari Jami’ah atau Majmu’ Ali atau Mushaf Fathimah. Sedangkan dua pertiga (2/3) selebihnya masih tersimpan di Ahlul Bait. Mushaf yang ditulis Ali bin Abi Thalib hilang bersama hilangnya (ghaibah) sang Imam, dan akan dibawa kembali oleh Al Qaim (kebangkitan Imam Mahdi/Muhammad Al Mahdi, imam ke-12, putra Hasan Al-Askari, imam ke-11).


Meskipun terdapat banyak rujukan utama dalam kitab-kitab Syiah yang menguatkan adanya tahrif dalam al-Qur'an, tetapi uniknya mushaf al-Qur'an yang tersebar di kalangan Syiah tidak berbeda dengan yang kita baca. Apakah itu bagian dari strategi taqiyyah Syiah atau bukan, Wallahu a’lam. Sebab hanya merekalah yang lebih tahu akan kepercayaan yang dianutnya. Namun menurut Sayyid Ni’matullah al-Jazairi terdapat lebih dari 2.000 “Hadits” yang menetapkan kepercayaan adanya tahrif di kalangan Syiah. Mayoritas ulama dan ahli Hadits Syiah semenjak dulu pun berpedoman dengan kesahahihan Hadits-Hadits tahrif tersebut. [31]



Merajut nota kesepahaman Sunni-Syiah



Hubungan antara Sunni-Syiah harus diakui menyimpan api dalam sekam. Konflik yang telah, sedang dan akan terjadi antara kedua millah ini seharusnya bisa diantisipasi. Mengusir para penganut Syiah dari bumi Indonesia bukanlah solusi yang bijak. Sebab suka tidak suka, secara historis Syiah telah eksis di Timur Tengah lebih dari seribu tahun. Sejarah konflik yang memakan ribuan korban di berbagai belahan negara-negara Islam antara kedua golongan ini pun berlangsung cukup lama. Maka hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah sebelum mengambil kebijakan adalah mengakui adanya perbedaan dalam prinsip-prinsip akidah antara Sunni-Syiah.



Umat Islam Sunni senantiasa diajarkan mencintai dan meneladani para Sahabat Nabi, terutama para khulafa’ rasyidin dan para isteri Nabi. Sementara dalam batasan tertentu kaum Syiah justru getol melaknat Ummahatul Mukminin, khususnya Aisyah dan sahabat-sahabat terdekat Rasulullah saw., yang sudah mendapat jaminan Surga, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Bahkan bisa jadi merupakan ritual yang dianjurkan. Oleh beberapa penganut Syiah, Abu Lu'lu'ah, pembunuh Umar bin Khattab, r.a., dianggap pahlawan dan makamnya sangat diagungkan, diziarahi, serta diadakan perayaan tahunan khusus untuk menghormati si pahlawan pembunuh Khalifah Umar tersebut. Bahkan kaum Syiah memberinya gelar "Bapak agama yang berani." Di atas kuburannya yang ada di Iran tertulis kalimat-kalimat penghinaan terhadap sahabat-sahabat Nabi yang mulia: "Kematian untuk Abu
Bakar, Kematian untuk Umar, Kematian untuk Utsman." [32]



Umat Islam Sunni menyakini diharamkannya kawin kontrak (mu’tah) dan menganggapnya sebagai perzinahan yang tergolong dosa besar. Sementara Syiah menganggapnya sebagai ibadah. Meskipun belum tentu ulama Syiah akan mengijinkan jika putrinya sendiri dikawini mut’ah. Di samping itu ada kepercayaan maksumnya para imam Syiah yang oleh umat Islam Sunni justru dianggap bid’ah. Karena sifat maksum hanya dikhususkan bagi para Nabi.


Memahami dasar perbedaan kedua millah ini bisa menjadi kunci utama merajut jalan damai dan mengembangkan kebijakan kedepan. Apapun kebijakan dan solusi yang dibuat dengan mengabaikan pemahaman terhadap perbedaan prinsipil kedua millah ini, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Sebab akar konflik dan sumber masalah tidak disentuh sama sekali. Penyelesaian konflik yang berbasis agama dan keyakinan semestinya tidak hanya mengandalkan konsep kebebasan beragama liberal. Sebab kebebasan beragama dan berkeyakinan mestinya berbeda dengan kebebasan menghina agama dan kepercayaan umat lain.


Di samping itu, juga perlu diperhatikan asas memahami eksistensi Ahlussunnah sebagai Muslim mayoritas di Indonesia. Penganut Syiah bisa dihimbau untuk tidak melakukan dakwah yang sarat dengan provokasi aktif di kalangan Muslim Sunni. Karena kegiatan seperti ini sama saja menyulutkan api pada rerumputan kering. Oleh sebab itu, upaya menerapkan aturan perijinan untuk mendirikan tempat peribadatan bagi kaum Syiah juga bisa menjadi salah satu prioritas kebijakan untuk mengantisipasi konflik di masa mendatang.


Hak-hak umat mayoritas seharusnya tidak dikesampingkan dalam membuat segala bentuk kebijakan yang berkenaan dengan agama. Sebab selama ini pemerintah terkesan hanya mengurusi hak-hak minoritas dan terlalu sibuk dengan program kerukunan antar umat beragama. Sementara program kerukunan intra umat Islam dan hak-hak mayoritas sering diabaikan, kecuali hanya pada masa-masa menjelang pemilu. Saat-saat di mana umat Islam dengan segala potensi yang dimilikinya, pesantren-pesantrennya, ormas-ormasnya, masjid-masjidnya, kerap dikunjungi, diberi janji-janji dan dibujuk untuk memberikan suaranya.


Menghormati hak-hak mayoritas tidak bisa diartikan diskriminasi pada minoritas. Di beberapa wilayah Australia misalnya, ijin mendirikan masjid tidak hanya mendapatkan ijin dari penduduk sekitar, tetapi juga harus memperhatikan pengguna akses jalan yang melewati area pendirian masjid. Jika salah satu pengguna jalan, meskipun bukan penduduk setempat, ada yang merasa terganggu dengan rencana pendirian masjid, maka suara keberatannya bisa menjadi faktor penting dalam mempertimbangkan pemberian ijin bangunan oleh dewan kota. Maka sangat relevan jika ijin pendirian tempat ibadah di Indonesia bisa diterapkan untuk penganut Syiah. Terlebih jika pendiriannya dilakukan di komunitas Sunni yang rentan menjadi media provokasi untuk menyulut anarkhisme.


Dalam konteksnya di Indonesia, peluang damai Sunni-Syiah bahkan terjalinnya kerjasama dalam bermuamalah sangat terbuka lebar. Umat Islam Sunni terbukti tidak saja bisa hidup rukun bahkan mampu memberi kedamaian dan perlindungan bagi penganut agama lain. Dan sangat tidak mustahil hal yang sama juga akan diberikan kepada kaum Syiah yang notabene masih meyakini kalimat: "La Ilaha Illallah, Muhammadun Rasulullah". Namun akankah Syiah mau menyambut uluran damai Sunni atau lebih menikmati bermain api dengan akidah Ahlussunnah? Dan sebagai minoritas, apakah Syiah mampu bertoleransi dengan ikut menjaga stabilitas dalam berinteraksi intra umat Islam ataukah mereka memilih jalan provokatif dengan mendirikan masjid-masjid Syiah secara massif di lingkungan Sunni tanpa mengindahkan adanya perijinan dari komunitas setempat? Wallahu A’lam.


****



Oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH

*penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia, memperoleh gelar masternya dalam Islamic Revealed Knowledge and Heritage (IRKH) dari International Islamic University Malaysia. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa S3 di Universiti Malaya, fakultas Akademi Pengajian Islam.



Catatan Kaki:
  1. Emilia Renita AZ, 40 Masalah Syiah, Ikatan Jamaah Ahlu Bait Indonesi (IJABI), cetakan 2, Oktober 2009.
  2. Ibid, hal. 13 dan 15.
  3. hal. 37-38.
  4. www.hodaalquran.com/rbook.php?id=7013&mn=1. Situs Huda Al-Qur'an ini merupakan serangkaian situs Syiah milik “Hauzatul-Huda” yang beralamat di Bahrain yang fokus dalam bidang Studi Islam di bawah bimbingan Sheikh Mohammed Shanqour. Situs ini membidangi kajian al-Qur'an dalam segala aspeknya, seperti tafsir, ulum al-Qur'an, studi dan penelitian al-Qur'an, artikel serta tema-tema spesifik seputar al-Qur'an. Di samping itu, juga berisi kisah-kisah dalam al-Qur'an, beragam audio tentang tilawah, pelajaran dan ceramah umum tentang al-Qur’an. Situs ini diluncurkan pada bulan Ramadhan bertepatan dengan 5 Oktober 2007. Sedangkan pengasuhnya, yakni Sheikh Mohammed Shanqour merupakan salah satu ulama Syiah di Bahrain kelahiran tahun 1968. Lebih lanjut silahkan melihat http://ar.wikipedia.org/ محمد_صنقور
  5. Lihat: www.hodaalquran.com/rbook.php?id=2269&mn=1, diunduh pada tanggal 13 januari 2012.
  6. Al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal. 205 dalam http://www.shiaweb.org/quran/bayan/pa44.html, diakses tanggal 23 Januari 2012.
  7. Artinya: Orang tua yang berzina baik laki-laki maupun perempuan, maka jatuhkan hukum rajam terhadap keduanya. lihat: al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal. 203 dalam http://www.shiaweb.org/quran/bayan/pa44.html
  8. Lihat: 40 Masalah Syiah, hal. 41.
  9. Lihat: al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal. 259, teks aslinya berbunyi: ومما ذكرناه قد تبين للقارئ أن حديث تحريف القرآن حديث خرافة وخيال لا يقول به إلاّ من ضعف عقله dikutip dari www.al-shaaba.net/vb/showthread.php?t=6419&page=2
  10. Teks aslinya berbunyi: إن كثرة الروايات تورث القطع بصدور بعضها عن المعصومين عليهم السلام، ولا أقل من الاطمئنان بذلك وفيها ما روي بطريق معتبر
  11. Teks aslinya berbunyi: ما يستطيع أحد يقول جمع القرآن كله غير الأوصياء
  12. http://www.fnoor.com/fn0217.htm#_ftn25; Lihat juga kitab-kitab Syiah lainnya, misalnya: Tafsir al-‘Iyasyi, vol. I, Mansyurat al-A’lami, Beirut, cet. 91, hal. 1, Tafsir al-Shafi, vol. I, hal. 41, Bihar al-Anwar, 92: 55, al-Lawami’ al-Nuraniyah, hal. 547. Teks aslinya berbunyi: لو قرئ القرآن كما أنزل لألفيتنا مُسّمين
  13. Teks aslinya: نزل جبريل بهذه الآية على محمد هكذا: وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا في علي فأتوا بسورة من مثله
  14. www.fnoor.com/fn0217.htm, diakses tanggal 19 Januari 2012.
  15. Ulama’ al-Syi’ah Yaquluna..! Watsaiq Mushawwarah min Kutub al-Syi’ah (=Ulama Syiah Berkata..! disertai Fotokopi Dokumen dari Kitab-kitab Syiah), Markaz Ihya Turats Ali l-Bayt, cetakan II, hal. 14.
  16. Lihat: www.islamww.com/books/GoPage19-1278-8679-128.html diakses tanggal 15 Jan 2012.
  17. Emilia Renita, Loc. Cit., hal. 39.
  18. Ibid, hal. 40-44.
  19. Imam al-Suyuthi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, editor: Markaz al-Dirasat al-Qur'aniyyah, Mujamma' al-Malik Fahd li Thiba'ah al-Mushaf, Wuzarah al-Syu'un al-Islamiyyah wa l-Auqaf wa l-Da'wah wa l-Irsyad, Saudi Arabia, hal. 1455.
  20. http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=117605, teks aslinya berbunyi: ولا يتوهم من هذا أو شبهه أن القرآن ضاع منه شيء فإن ذلك باطل
  21. Imam al-Suyuthi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, hal. 1456.
  22. Keterangan muhaqqiq (editor) dalam al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, hal. 1456-1457.
  23. Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa l-Tanwir, Dar al-Tunisiyyah li l-Nasyr, hal. 246.
  24. Lihat situs-situs Syiah, di antaranya http://www.holyquran.net/books/tahreef/9.html; Kaum Nasrani juga melakukan hal yang sama, lihat misalnya http://www.ebnmaryam.com/vb/t6972.html
  25. Imam al-Suyuthi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, hal. 1457. Mudallas dalam Mustalah Hadits artinya bahwa seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru yang pernah ia jumpai dan ia dengar riwayat darinya, tetapi hadits yang ia riwayatkan itu tidak pernah ia dengar darinya. Sedang ia meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar langsung darinya, seperti “dari” atau “ia berkata”. Mudallas adalah bagian dari Hadits dha’if (lemah) dari sisi gugurnya perawi.
  26. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, editor: Syu’aib al-Arnauth, Adil Mursyid, Sa’id al-Liham, Muassasah al-Risalah, vol. 35, hal. 133-134.
  27. Imam al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa l-Sab' al-Matsani, Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, Beirut, vol. 21, hal. 142.
  28. Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits# Berdasarkan_ tingkat_keaslian_hadis.
  29. Lihat: Syiah & Dagelan Jarh Wat-Ta’dil, Majalah Qiblati, Edisi 3, th VII dalam http://syiahali.wordpress.com/2011/06/27/keunggulan-kitab-kitab-hadis-syiah-membantah-salafi-dan-sunni/
  30. Lihat: www.islam4u.com/almojib_show.php?rid=570
  31. http://www.fnoor.com/fn0217.htm#_ftnref25
  32. Lihat: http://www.eramuslim.com/berita/dunia/ikhwan-yordan-tuntut-pemimpin-syi-ah-tutup-kuburan-pembunuh-khalifah-umar.htm, diakses tanggal 20 Jan 2012