Islamuna El-Jamil
Alyauma akmaltu lakum dinakum

Selasa, 13 Oktober 2009

Pohon Menjadi Pena, Laut Menjadi Tinta


Pohon Menjadi Pena, Laut Menjadi Tinta

Seri 007 yang berjudul Makrokosmos ditutup dengan S. Luqman 27, dan seri ini dibuka dengan ayat yang sama: Wa law anna maa fi l-ardhi min syajaratin aqlaamun wa lbahri yamudduhu min ba'dihie sab'atun abhurin maa nafidat kalimaatu Llaahi 'aziezun hakiem. Dan jika sesungguhnya pepohonan di bumi jadi pena, dan laut kemudian ditambah lagi tujuh laut (menjadi tinta), niscaya tidak akan habis (dituliskan) kalimah Allah, sesungguhNya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana..

Apa yang akan ditulis ini adalah aktual, tetap aktual. Yaitu mengenai kebesaran Allah. Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Allah tidak dapat dilihat dengan perangkat kasar, mata kasar. Allah hanya dapat dilihat dengan perangkat halus, mata batin. Namun kebesaran Allah, walaupun tidak dapat dilihat dengan mata kasar, alam ciptaan Allah dapat dilihat dengan mata kasar. Alam ciptaan Allah ini dapat menunjukkan kebesaran Penciptanya. Dalam Al Quran Allah membimbing manusia untuk dapat melihat kebesaran Allah, bukan sekadar yang kwalitatif, melainkan juga sampai-sampai kepada yang kwantitatif, seperti dalam S. Luqman 27 tersebut.

Pernyataan dalam firman Allah itu sudah menyangkut yang kwantitatif. Juta-jutaan ranting pepohonan di muka bumi yang dijadikan pena. Juta-jutaan meter kubik air laut untuk tinta, ditambah lagi volume air tinta tujuh kali lipat. Pena dari pepohonan habis aus, tinta sebanyak itu akan kering, namun kalimah Allah masih tidak akan habis untuk ditulis. Seperti yang telah ditulis dalam Seri 007, untuk mengingat kembali, maka di bawah ini disajikan lagi ilustrasi berupa angka-angka itu. Karena alam semesta ini luas, maka ukuran panjang yang dipakai bukan kilometer, bukan mil, melainkan dalam detik cahaya, menit cahaya, jam cahaya, tahun cahaya. Artinya jarak yang ditempuh cahaya dalam 1 detik, dalam 1 menit, dalam 1 jam dan dalam 1 tahun. Kecepatan cahaya sekitar 300 000 kilometer per detik. Jadi 1 detik cahaya panjangnya 300 000 kilometer. Maka 1 tahun cahaya jaraknya 1 x 60 x 60 x 24 x 365 x 300 000 kilometer. Bagi yang mau tahu berapa jarak 1 tahun cahaya itu, silakan ambil kalkulator dan hitung sendiri.


Kalau kita mulai dari bumi, benda langit terdekat adalah Hermes, sebuah bungkah batu, jaraknya 1,25 detik cahaya. Kemudian bulan, jauhnya 1,3 detik cahaya. Inilah jarak terjauh yang dapat ditempuh oleh manusia, yaitu Neil Armstrong dengan pesawat Columbia. Lalu matahari, jauhnya 8 menit cahaya. Untuk selanjutnya lebih enak mulai bertolak dari matahari sebagai pusat tata-surya. Cahaya yang dipancarkan matahari dalam 3,5 menit sampai di Utarid (Mercurius), 6 menit di Kejora (Venus), 8 menit di bumi, 12 menit di Marikh (Mars), 22 menit di planetoida. Adapun planetoida ini adalah bungkah-bungkah batu, diduga sebuah planet yang hancur berantakan. Selanjutnya dalam 40 menit tiba di Mustari (Jupiter), 76 menit di Zohal (Saturnus), 2,6 jam di Uranus, 4 jam di Neptunus dan 5,5 jam di Pluto. Maka Benda-benda langit satelit matahari yang mengorbit matahari di luar jalur bumi mengorbit matahari sebanyak 7 buah, yaitu 1.Marikh, 2.planetoida, 3.Mustari, 4.Zohal, 5.Uranus, 6.Neptunus, 7.Pluto. Sebelum didapatkannya teropong bintang, planetoida dan ketiga bintang yang paling luar belum diketahui, sehingga tidak mempunyai nama-nama yang lama, jadi baru ada 3 planet yang dikenal di luar bumi. Maka coba dibayangkan betapa kecilnya bumi, begitu secuilnya pepohonan dan lautan di bumi.

Jangan dikira matahari itu yang paling besar di alam ciptaan Allah ini. Matahari hanya termasuk bilangan bintang yang normal, baik panas maupun besarnya. Matahari itu tergolong dalam bintang yang disebut bintang tetap. Predikat tetap ini diberikan terhadap bintang-bintang yang jika dilihat dari bumi jaraknya tetap antara satu dengan yang lain pada bola langit. Adapun yang disebut bola langit ini adalah apa yang kita lihat dari bumi, jika menengadah. Akan kelihatanlah di atas kita sebuah bundaran setengah bola berwarna biru. Sebenarnya bulatan setengah bola itu tidak ada. Dan warna biru adalah warna atmosfer bumi. Jika di bulan yang tidak ada atmosfernya, langit kelihatan hitam. Jadi Neil Armstrong melihat langit di atasnya berwarna hitam. Demikian pula para astronaut di dalam kendaraan angkasanya melihat langit hitam.

Kembali kita kepada matahari sebagai bintang tetap, yang tergolong normal itu. Ada golongan bintang tetap yang disebut raksasa. Antara lain seperti Raksasa Betelgeuse. Diameternya sekitar 2 kali lingkaran yang dibentuk oleh lintasan bumi. Seperti dijelaskan di atas jarak matahari - bumi 8 meit cahaya. Jadi diameter lintasan bumi 2 x 8 = 16 menit cahaya. Artinya diameter Raksasa Betelgeuze 2 x 16 = 32 menit cahaya. Ada pula yang lebih besar, yaitu Raksasa Razalgethi, diameternya sekitar 4 kali Betelgeuze, jadi 4 x 32 = 128 menit cahaya, jadi sekitar 2 jam cahaya. Masih ada yang lebih besar, Raksasa Epsilon Aurigae, diameternya sekitar 2 kali Razalgethi, jadi 2 x 2 = 4 jam cahaya.

Seperti juga telah ditulis dalam Seri 007, bintang tetap yang terdekat dari tata-tata surya adalah Alpha Centaury. Jauhnya 4,3 tahun cahaya. Matahari, Alpha Centaury dan raksasa-raksa tersebut tadi hanyalah merupakan secuil bintang dari jutaan bintang yang membentuk gugus yang disebut sistem galaxy Milky Way. Milky Way, Andromeda, sebuah galaxy yang juga berbentuk spiral terbuka, 6 galaxy berbentuk elipsoida, 4 galaxy yang tidak begitu teratur bentuknya, ke 13 galaxy itu membentuk gugus yang lebih besar yang disebut gugus supergalaxy atau cluster. Supergalaxy yang beranggotakan 13 galaxy ini diberi bernama Local Group. Adapun Local Group ini hanya termasuk supergalaxy yang kecil. Ada supergalaxy yang beranggotakan sampai ribuan galaxy. Jarak di antara supergalaxy sekitar 2 000 000 tahun cahaya. Jumlah supergalaxy yang dapat ditangkap telescoop sekitar 100 000 000 buuah. Jumlah yang sebenarnya? WaLlahu a'lam, hanya Allah Yang tahu. Jarak yang terjauh yang dalam batas daya tangkap telescoop adalah 1 milyar tahun cahaya. Maka betapa secuil-cuilnya pepohohonan menjadi pena lautan menjadi tinta dari bumi yang teramat sangat kecilnya itu. Lalu manusia sendiri tentu lebih secuil-cuil pula. Apa manusia mau lupa diri? Sombong dengan ilmunya? Sombong dengan Ipteknya? Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLaahi lhamd. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar 18 Oktober 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

052. Proses Terbentuknya Raksasa dan tujuan penciptaan Allah

Dalam Seri 051 ybl telah termaktub bintang-bintang raksasa Betelgeuse, Razalgethi dan Epsilon Aurigae. Yang sesungguhnya ketiga benda langit itu adalah matahari-matahari raksasa? Bagaimana Allah memproses ketiganya, yang tentu saja masih banyak yang lain-lain, sampai menjadi matahari yang raksasa?

Galaxy dan juga ruang antara galaxy tidaklah hampa, melainkan berisi dukhan yang dikenal dalam ilmu falak sebagai fluida interstellair. Di dalam galaxy Milkyway fluida interstellair itu beredar mengelilingi pusat Milkyway bersama-sama dengan bintang-bintang atau matahari-matahari itu. Gerak berkeliling itu disebut gerak bersama. Dengan demikian galaxy Milkyway itu ibarat cakra berbentuk lensa cembung, berisikan fluida interstellair dan matahari-matahari. Fluida interstellair itu walaupun amat renggang dibandingkan dengan kepadatan massa matahari-matahari, akan tetapi volume fluida itu sangat besar dibandingkan volume matahari-matahari itu. Maka jumlah massa fluida itu secara keseluruhan sangat besar. Dengan demikian fluida itu berpengaruh besar terhadap gerak bersama itu. Fluida interstellair itu mengontrol secara keseluruhan gerak bersama dari isi Milkyway. Dan begitu pula keadaannnya pada galaxy-galaxy yang lain.

Adapun kecepatan matahari yang lebih cepat 24 km per detik itu, adalah kecepatan relatif matahari terhadap fluida interstellair itu. Artinya matahari berenang dalam fluida interstellair itu dengan kecepatan 24 km per detik. Demikian pula bintang-bintang atau matahari-matahari yang lain itu berenang menerobos fluida interstellair. Dan sambil berenang itu bintang-bintang atau matahari-matahari itu membawa serta (menyedot) fluida interstellair yang dilaluinya. Makin lambat gerakan berenang itu makin banyak fluida interstellair yang disedotnya. Apabila kecepatan berenang matahari-matahari itu hanya sekitar 2 sampai 3 km per detik, maka matahari itu akan menjadi matahari-matahari raksasa, seperti halnnya ketiga raksasa yang disebut di atas itu. Untuk kecepatan berenang 12 sampai 15 km per detik, walaupun bintang-bintang itu menyedot fluida interstellair, tidaklah sampai mengalami pertambahan massa yang berarti, sehingga tidak sempat menjadi raksasa. Demikian pula matahari yang menjadi pusat tatasurya kita ini termasuk bintang yang tidak dapat menjadi raksasa, karena kecepatan berenangnya 24 km per detik, jauh di atas 15 km per detik.

Itu baru penafsiran atau teori. Tentang adanya fluida interstellair dan proses penyedotan fluida interstellair oleh bintang-bintang yang berenang itu perlu diujicoba. Seperti telah pernah dikemukakan dalam seri yang lalu menguji coba itu harus dirujukkan pada sumber informasi yaitu ayat, baik ayat Al Quran maupun ayat alam.

Fluida interstellair itu dibenarkan adanya oleh Al Quran, yang disebut dengan dukhaan (S. Fushshilat 11). Demikian pula tentang keadaan bintang-bintang yang berenang itu dibenarkan oleh Al Quran, Kullun fie falakin yasbahuwn semuanya berenang dalam falaknya (S.Al Anbiyaa 33, S.Yasin 40).

Mengenai bintang-bintang itu menyedot fluida interstellair, Allah memberi kesempatan manusia untuk dapat mengadakan ujicoba. Allah sudah mengatur sedemikian rupa posisi dan jarak bulan, bumi, matahari, apabila terjadi gerhana matahari bulan dapat tepat-tepat menutup matahari dilihat dari bumi. Pada waktu gerhana matahari penuh dapat disaksikan, bahkan telah difoto bahwa matahari dibungkus oleh lapisan yang disebut corona. Dalam foto itu dapat disaksikan bahwa pada lapisan terluar dari corona itu terdiri atas fluida interstellair yang disedot oleh matahari.

Maka demikianlah bagaimana Allah menjadikan raksasa-raksasa itu. Bintang-bintang itu berenang melalui fluida interstellair. Sambil berenang bintang-bintang itu menyedot fluida interstellair. Yang kecepatan berenangnya rendah, antara 2 sampai 3 km per detik, mempunyai kesempatan banyak menyedot. Maka menjadilah ia raksasa. Yang kecepatannya sedikit tinggi, antara 12 sampai 15 km per detik juga tetap menyedot, tetapi tidak sempat menjadi raksasa. Dan salah satu di antaranya ialah matahari kita, yang tidak sempat menjadi raksasa.

Kitapun dapat mengkaji tujuan Allah menjadikan matahari yang tidak sempat menjadi bintang raksasa. Yaitu bahwa Allah sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur, berkehendak agar kita manusia ini dapat hidup di bumi di tatasurya ini. Bayangkan jika matahari mempunyai kecepatan berenang 2 sampai 3 km per detik, ia akan menjadi raksasa. Bumi ini yang pada mulanya berwujud fluida panas, tidak akan sempat menjadi cair apalagi padat, karena matahari kian membesar. Artinya jarak matahari dengan bumi kian dekat, bumi malahan makin panas, mana sempat membeku. Maka dalam proses menjadi raksasa itu akhirnya matahari akan melahap planet-planetnya. Kalau sudah sebesar raksasa Betelgeuze akan melahap bumi, sebesar raksasa Razalgethi akan melahap Saturnus dan 1,5 kali sebesar raksasa Epsilon Aurigae akann melahap Pluto. Allah berkehendak pula supaya manusia sempat mendapatkan ilmu menguji coba teorinya. Yaitu Allah menetapkan jarak posisi matahari, bumi dan bulan, sehingga kalau terjadi gerhana matahari penuh, maka dilihat dari bumi, bulan dapat tepat-tepat menutup matahari. Maka manusia dapat memfoto corona matahari bahagian luar. Dan dari foto itu manusia dapat menyaksikan bahwa matahari menyedot fluida innterstellair, manusia dapat menyaksikan dukhan, dan manusia juga dapat menyaksikan bahwa matahari berenang dalam dukhan itu. WaLlahu a'lamu bishshawab

*** Makassar, 25 Oktober 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

053. Nabi Yusuf 'Alaihi Ssalam dengan Saudara-Saudaranya

Kita buat sementara tinggalkan dahulu alam semesta dengan benda-benda langit supergalaxies, galaxies, matahari-matahari yang biasa dan yang raksasa, planet-planet untuk buat sementara kembali ke bumi kita ini.

Di dalam Al Quran banyak sekali kisah yang dikisahkan Allah, utamanya kisah Nabi-Nabi. Adapun kisah-kisah dalam Al Quran tujuannya bagi yang membacanya bukan hanya sekadar untuk enak didengar, bukan hanya sekadar bacaan hiburan. Kisah-kisah dalam Al Quran mendapat predikat dari Allah sebagai ahsanu lqasas, kisah-kisah yang terbaik, seperti FirmanNya dalam S.Yusuf, 3: Nahnu naqussu 'alaika ahsana lqasasi bimaa awhaynaa ilayka haadza lQuran wa in kunta min qablihie lamina lghaafilien, artinya, Kami kisahkan kepadamu (hai Muhammad) kisah-kisah terbaik dengan jalan mewahyukan kepadamu al Quran ini, yang sesungguhnya engkau sebelumnya (mendapatkan wahyu), belumlah mengetahui (kisah-kisah terbaik itu).

Salah satu di antara kisah-kisah terbaik itu adalah kisah Nabi Yusuf 'Alaihi Ssalam. Di dalam kisah Nabi Yusuf AS ini banyak pesan-pesan nilai yang dapat kita simak. Seperti kita ketahui, Nabi Yusuf AS adalah salah seorang dari dua belas anak Nabi Ya'qub AS, yang anak dari Nabi Ishaq AS, yang anak dari Nabi Ibrahim AS. Dari kedua belas anak-anak Nabi Ya'qub AS itulah yang menurunkan kedua belas puak (tribes) Bani Israil. Seperti diketahui dalam sejarah sepeninggal Raja yang sekaligus Nabi Sulaiman AS, kerajaannya itu pecah dua, 10 puak di Kerajaan Utara, dan 2 puak di Kerajaan Selatan. Yang Utara ditaklukkan oleh bangsa Asysyiria, dan ke-10 puak itu sudah tidak jelas ke mana rimbanya. Yang tertinggal hingga sekarang hanyalah 2 puak saja lagi. Itupun mereka, ke-2 puak, yang dari Kerajaan Selatan itu tidak luput dari jarahan kerajaan asing, dalam hal ini Babilonia, yang menawan mereka semuanya ke Babilon, dan diperbudak di sana. Inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Babylonische Ballingchap, masa pembuangan ke Babilonia. Setelah Cyrus, Raja Parsi, penganut agama Zarathustra yang taat, mengalahkan Babilonia, maka ke-2 puak Bani Israil itu dipulangkan kembali ke negerinya.

Namun orang-orang Kashmir mengklaim, bahwa mereka itu adalah keturunan dari The Ten Lost Tribes of Israel. Bahkan ada buku yang pernah saya baca, sudah lupa siapa penulisnya, bahwa ke-10 puak Israil yang hilang itu adalah orang Inggeris yang sekarang ini. Dalam The Book of Mormon, Kitab Suci agama Mormon, yang pendirinya Yoseph Smith, kita dapat baca bahwa ada puak dari The Ten Lost Tribes itu berhasil luput dari kepungan bangsa Asysyiria dan menyeberangi laut Atlantik. Orang-orang yang beragama Mormon, yang berpusat di Salt Lake City, Negara bagian Utah Amerika Serikat berkeyakinan, bahwa di antara orang-orang Indian adalah keturunan dari salah satu di antara ke-10 puak Bani Israel yang hilang itu. Dan mereka berkeyakinan, bahwa Nabi 'Isa AS pernah ke Amerika untuk memenuhi janjinya untuk mencari domba-domba Israel yang hilang. Sebagai tambahan informasi, Kitab Suci orang-orang Mormon itu saya miliki dalam perpustakaan pribadi saya, sebagai hadiah dari Prof. DR Ir Richard Toreh M.Sc, itu Guru Besar Fakultas Teknik, Jurusan Sipil. Beliau tidak beragama Mormon, melainkan beliau membawa pulang Kitab itu lebih dua puluh tahun lalu setelah menyelesaikan M.Sc-nya di Utah, Amerika Serikat.

Kembali kita kepada kisah Nabi Yusuf AS. Salah satu pesan nilai dari kisah Nabi Yusuf AS ini adalah hubungan segi tiga antara Nabi Yusuf AS - saudara-sadaranya - Nabi Ya'qub AS. Berfirman Allah tentang hal ini dalam S.Yusuf, ayat 5: La qad kaana fie yuwsufa wa ikhwatihie aayaatun lissaailien, artinya: Maka adalah dalam hal hubungan Yusuf dengan saudara-saudaranya, merupakan ayat (informasi) bagi mereka yang suka mencari yang tersirat (inquirers).

Apa sesungguhnya nilai yang tersirat dalam kisah Nabi Yusuf AS? Ini dapat kita ungkapkan, jika membaca pada ayat berikutnya: Idz qaaluw layuwsufu wa akhuwhu ahabbu ilaa abienaa minnaa wa nahnu ashbatun, artinya: Ingatlah, ketika (saudara-saudara Yusuf) berkata: Yusuf itu dan saudaranya (Benyamin) lebih dicintai oleh ayah kita ketimbang kita ini, padahal kita ini berkelompok lebih kuat (S.Yusuf,8).

Maka jelaslah bahwa salah satu nilai yang tersirat dalam kisah hubungan segi tiga Yusuf - saudara-saudaranya - ayahnya, adalah hendaknya seorang ayah ataupun orang tua, walaupun sudah merasa bertindak adil pada anak-anaknya, perlu kehati-hatian di dalam bersikap. Yaitu jangan sampai dalam bersikap itu, anak-anak mempunyai kesan diperlakukan tidak adil, walaupun dari pihak orang tua tidak ada sama sekali dalam hati nurani dan benaknya untuk berlaku tidak adil. Pelajaran apa yang dapat kita petik dari perbincangan ini? Nabi Ya'cub AS seorang nabi. Walaupun demikian dalam bersikap terhadap anak-anaknya, masih ada kesan dari anak-anaknya yang 10 orang bahwa mereka itu diperlakukan tidak adil. Nah, sedangkan seorang nabi masih mendapat kesan yang negatif dari anak-anaknya, apatah lagi kita ini sebagai manusia biasa. Kalau ada di antara anak-anak kita mempunyai kesan, bahwa kita sebagai ayahnya tidak memperlakukan mereka dengan adil, maka perlu introspeksi. Melihat lebih dalam, tidak hanya melihat gejala di permukaan saja.

Demikian pula dalam hubungannya antara pemerintah sebagai ayah dengan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa sebagai anak-anaknya. Adanya protes terhadap eksistensi KNPI, baik di Palu, yang HMI keluar dari KNPI, maupun baru-baru ini di Yogyakarta yang menghendaki bubarnya KNPI, perlu disimak lebih dalam. Apakah hanya sekadar karena soal kepemimpinan dalam tubuh KNPI, ataukah lebih dalam lagi menukik dalam kejiwaan, sebagaimana halnya dengan ke-10 saudara-saudara Yusuf, bahwa Yusuf itu ahabbu ilaa abienaa minnaa, Yusuf itu lebih dicintai oleh ayah kita ketimbang kita yang 10 orang ini.

Maka perlu sekali menyimak lebih dalam, mengintrospeksi baik dari pihak ayah yaitu pemerintah, maupun dari anak, yaitu dalam hal ini KNPI. Sedangkan Nabi Ya'qub AS, yang seorang nabi, dalam bersikap memberikan kesan pada anak-anaknya tidak berlaku adil, apatah pula kita ini cuma manusia biasa saja. Ya, laqad kaana fie yuwsufa wa ikhwatihie aayaatun lissaailien. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 1 November 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

054. Textual, Kontextual, Konsepsional

Mengenai Keadilan Ada yang bertanya kepada saya. Ini dalam hubungannya dengan acara rutin da'wah Islamiyah di TPI setiap pagi. Yaitu dalam salah satu acara rutin tersebut pernah dikemukakan tentang pembagian warisan 2 berbanding satu antara laki-laki dengan perempuan. Lalu saya berpikir, mungkin banyak yang bertanya-tanya pula, yaitu dihubungkan dengan nilai keadilan. Dan sayapun masih ingat beberapa tahun lalu Menteri Agama Munawir Syadzali pernah mengemukakan pendapatnya pribadi, bahwa dua berbanding satu tidak cocok, artinya dirasa tidak adil kalau dilihat masyarakat di Jawa Tengah, yang perempuannya aktif mencari nafkah, sedang laki-lakinya pasif saja di rumah.

Dalam S.Al Baqarah, 208 Allah berfirman: Yaa ayyuha lladziena aamanuw dkhuluw fissilmi kaaffah, artinya, Hai orang-orang beriman masukilah Islam secara keseluruhan.

Untuk memasuki Islam secara keseluruhan, haruslah dahulu memahaminya pula secara keseluruhan, tidak secara berkotak-kotak. Artinya ajaran Islam harus difahami secara kaffah (keseluruhan, totalitas), secara nizam (sistem), mempergunakan pendekatan sistem. Secara gampangnya, sistem adalah suatu totalitas yang mempunyai fungsi dan tujuan, yang terdiri atas komponen-komponen yang mempunyai kaitan yang tertentu dan erat antara satu dengan yang lain.

Adapun keadilan menurut ajaran Islam, bukanlah sama rata sama rasa, bukan pula hanya sekadar keseimbangan antara hak dengan kewajiban, melainkan bermakna: menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan mengeluarkan sesuatu dari yang bukan tempatnya. Dengan pengertian keadilan seperti itulah, kita akan membahas mengenai keadilan dalam hubungannya dengan pembahagian harta warisan: dua bahagian untuk laki-laki dan satu bahagian untuk perempuan, seperti ditegaskan dalam nash dan adat.

Menurut nash yaitu dalam S. An Nisaa, 11: Yuwshiekumu Lla-hu fie awlaadikum lidzdzakari mitslu hazhzhi l.untsayayni, Allah mewajibkan dalam hal anak-anak kamu untuk seorang laki-laki seperti bagian dua orang perempuan. Dan menurut adat: Laki-laki memikul, perempuan menjunjung.

Masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri atas berbagai komponen. Salah satu komponennya adalah sub-sistem nilai. Nilai ada yang utama ada yang tidak utama atau pendukung, instrumental. Nilai utama bersumber dari wahyu dan nilai yang instrumental berasal dari akar yang historis, yaitu produk akal-budi manusia. Dengan perkataan lain, nilai utama adalah nilai agama dan nilai yang instrumental adalah nilai budaya. Menurut istilah Al Quran, nilai utama disebut Al Furqan (Al Quran 2:185). Nilai agama adalah mutlak, tidak bergeser dan nilai budaya tidak mutlak dapat bergeser. Nilai budaya dapat saja tidak bergeser, jika nilai budaya itu larut dalam nilai agama. Sub-sistem nilai sebagai salah satu komponen masyarakat, menjadi kerangka dasar bagi komponen-komponen lainnya seperti sub-sistem: politik, ekonomi, hukum, estetika dlsb. Atau dengan perkataan lain, sub-sistem nilailah yang menentukan corak, mewarnai, memberikan nada dan irama sub-sistem sub-sistem atau komponen-komponen lainnya.

Salah satu sub-sistem nilai adalah keadilan, dan ini termasuk dalam klasifikasi nilai utama. Secara pendekatan sistem, nilai ini tidak dapat dipisahkan dari nilai utama yang lain, yang meyangkut konsep kepemimpinan. Nilai tersebut tercantum dalam S. An Nisaa, 34: Ar rijaalu qawwaamuwna 'ala nnisaai, Laki-laki itu adalah pemimpin perempuan. Nilai kepemimpinan di atas itu memberikan corak dalam sub-sistem hukum faraid: dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan. Dengan pendekatan sistem tersebut, ditambah pula lagi dengan kriteria keadilan yang berupa: tanggung-jawab, kebutuhan, kesanggupan, prestasi, historis, bahkan selera, kita tidaklah akan bingung jika menghadapi suatu keadaan yang menurut hasil observasi kita selayang pandang, perbandingan dua dan satu itu tidak cocok menurut kondisi suatu masyarakat tertentu. Yaitu suatu keadaan khusus dari masyarakat tertentu yang menyimpang dari yang normal. Perempuannya mencari nafkah, sedangkan yang laki-lakinya hanya mempertele burung perkutut di rumah. Kita tidaklah akan begitu saja jika melihat masyarakat yang tidak normal itu, lalu membuat resep yang gampangan, yaitu rumus: Jangan lihat ayat itu secara textual, melainkan lihatlah secara kontextual.

Dengan pendekatan sistem kita tidaklah akan secara gampangan untuk mempertentangkan yang textual dengan yang kontextual. Dengan pendekatan sistem kita akan menjangkau bukan hanya sekadar yang kontextual saja, melainkan jangkauannya adalah yang konsepsional. Dengan konfigurasi ayat di atas rasio, akal dituntun oleh wahyu dan pendekatan sistem yang konsepsional, kita akan melihat bahwa nilai keadilan, maupun nilai kepemimpinan yang memberikan corak pada hukum faraidh, dua berbanding satu, tidak ada pertentangan antara yang textual dengan yang kontextual.

Menurut nilai utama dalam hal kepemimpinan, laki-laki yang memimpin perempuan, maka dalam sebuah rumah tangga, laki-lakilah penanggung jawab secara keseluruhan. Termasuklah di sini antara lain tanggung jawab memberi nafkah anak isteri. Dan menurut ketentuan hukum Islam, pihak isteri mempunyai hak penuh atas hak miliknya yang dibawa bersuami. Artinya sang isteri mempunyai kebebasan penuh dalam mengelola harta miliknya itu tanpa persetujuan suami. Berbeda misalnya dengan hukum barat, sang isteri tidak bebas untuk mengelola sendiri hak milik yang dibawanya dalam perkawinan. Sang isteri harus minta persetujuan suaminya. Kesimpulannya, laki-laki sebagai penanggung jawab rumah tangga, isteri yang mempunyai hak penuh atas pengelolaan hak milik yang dibawanya, dengan perbandingan dua untuk laki-laki satu untuk perempuan, maka tercapailah keadilan, menempatkan hal itu pada tempatnya.

Lalu bagaimana dengan permasalahan yang pernah dikemukakan Munawir Syadzali di Jawa Tengah itu? Jawabannya itu adalah distorsi. Masyarakat yang menyimpang itu harus diluruskan dengan Social Engineering, yang mekanismenya utamanya dalam bidang hukum, peraturan perundang-undangan. Sekadar tambahan informasi, Social Engineering, adalah suatu upaya mengubah kondisi masyarakat agar sesuai dengan tatanan yang diinginkan. Dan ini jangan dikacaukan dengan Societal Engineering, yaitu engineering yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Jadi Social Engineering termasuk dalam ruang lingkup Ilmu-Ilmu sosial, sedangkan Societal Engineering termasuk dalam ilmu-ilmu keteknikan (engineering). WaLlahu a'lamu bishshswab.

*** Makassar, 8 November 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

055. Kriteria dan Gaya Kepemimpinan serta Output yang didambakan

Sesudah shalat Jum'at Drs H.Abdurrahman, yang dosen IAIN bertanya kepada saya, apa saya telah dapat undangan sarasehan tentang kriteria kepemimpinan daerah. Setelah saya menjawab tidak, ia berkata nama saya ada di antara yang akan diundang, artinya undangan belum sempat disampaikan. Sampai hari petang undangan belum samapai juga. Saya putuskan untuk tidak hadir, lebih-lebih saya belum menulis untuk FAJAR. Saya pikir lebih baik kalau saya tulis saja untuk FAJAR, dan saya tambahkan gaya di samping kriteria, karena kepribadian dan watak seseorang akan mewarnai gaya kepemimpinannya. Lagi pula yang penting adalah output yang diinginkan dari kepemimpinan itu bagi rakyat yang dipimpin.

Lebih baik saya bercerita tentang Khalifah 'Umar ibn al Khattab radhiyaLlaahu 'anhu. Dan yang akan diceritakan tentu saja fragmen-fragmen yang relevan. Yang dari fragmen itu akan dapat disauk keluar tentang kriteria dan gaya kepemimpinan yang masih aktual, yang masih cocok sampai sekarang ini, dan tentang output yang dihasilkan oleh kepemimpinan itu.

***

Kita mulai dari fragmen waktu 'Umar akan hijrah. Jadi tentu saja cerita ini jauh sebelum 'Umar menjadi khalifah. Sebelum meninggalkan Mekah, 'Umar lebih dahulu mendatangi orang-orang Quraisy yang sedang hadir di Ka'bah, yang waktu itu Ka'bah masih dikotori dengan patung-patung berhala. Dengan lantang 'Umar berpidato singkat di hadapan orang-orang Quraisy itu. Pidato singkat itu dibuka Umar dengan memuliakan Allah dan menghinakan berhala-berhala itu. Dan pidatonya ditutup dengan tantangan. "Barang siapa yang ingin isterinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim, maka tunggulah 'Umar di luar Makkah, karena 'Umar akan hijrah sekarang ini."

***

Pada waktu 'Umar terpilih menjadi khalifah yang kedua, maka isi pidato "pengukuhannya" antara lain seperti berikut. "Sekiranya saya ketahui ada yang lebih cakap dan lebih baik dari saya, maka demi Allah saya tidak akan memangku jabatan ini." Namun pidato pengukuhannya itu diinterupsi, disanggah oleh seorang asysyabab, pemuda dengan hunusan pedang. Yaitu pada waktu 'Umar berucap: "Apabila tindakan saya benar, ikutlah saya dan apabila saya menyimpang luruskalah saya." Asysyabab itu menghunus pedangnya dan dengan suara lantang ia berkata: "Hai 'Umar, apabila engkau menyimpang, akan saya luruskan engkau dengan pedang saya ini." Lalu bagaimana reaksi 'Umar? Dengan senyum 'Umar berkata: "AlhamduliLlah, puji bagi Allah yang telah memberikan keberanian kepada seorang hambaNya, seorang asysyabab, yang bersedia meluruskan 'Umar dengan pedangnya."

***

'Umar tidak begitu senang dengan laporan bawahannya. Ia lebih senang mendapatkan data primer ketimbang data sekunder. Lalu apakah 'Umar punya cukup waktu, punya cukup kesempatan untuk meliput semua itu secara langsung? Kalau zaman sekarang ada ilmu statistik, tidak perlu populasi itu diliput secara keseluruhan, cukup dengan mengambil sample saja, biasanya dengan acakan, kalau perlu didahului dengan stratifikasi. Di zamannya 'Umar ilmu itu tentu belum ada. Lalu 'Umar pakai apa? 'Umar tidak pakai ilmu zhahir, melainkan ilmu kejernihan bathin dan intuisi yang tajam. Dia akan mendapatkan sample yang tepat-tepat. Di bawah ini ada dua fragmen tentang hasil liputan Umar secara langsung, data primer.

***

Suatu malam di daerah pinggiran Umar mendapatkan dialog yang menarik. Suatu data primer tentang akhlaq rakyatnya, rakyat kalangan kecil, kalangan daerah pinggiran. "Yah, ibu mengapa engkau akan mencampur susu dagangan kita ini dengan air, keluh anak gadis sang ibu. Supaya jumlahnya banyak, kita akan dapatkan pula hasil dengan harga yang banyak." "Akan tetapi bukankah hai ibu itu suatu perbuatan yang melanggar hukum," menyanggah sang anak yang gadis itu. "Ah, mana Umar akan tahu pelanggaran ini." "Ibu, jangan lupa, 'Umar barangkali tidak akan tahu, akan tetapi Pencipta 'Umar niscaya tahu pelanggaran ini." Dialog terputus dan Umar kembali, mencari anaknya Abdullah, yang kebetulan sedang nyenyak tidur. 'Umar membangunkan Abdullah lalu berucap. "Hai Abdullah saya sudah dapatkan jodoh yang baik buat kamu, seorang gadis miskin yang mulia akhlaqnya." Abdullah menuruti pilihan ayahnya. Ia tentu tidak berpikir seperti pemuda kontemporer yang bersikap yang dinyatakan dengan untaian kata mengejek: Bayangkan, seorang anak kepala negara bersedia menikah dengan "gadis pinggiran". Dari perkawinan Abdullah ini dengan gadis itu menurunkan seorang anak yang terkenal pula dalam sejarah, Khalifah 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz.

***

Suatu hari 'Umar menemukan seorang anak yang sedang menggembalakan sekelompok biri-biri. 'Umar ingin menguji kejujuran anak itu. "Hai anak, saya ingin membeli biri-biri seekor. Sang gembala menjawab: "Saya ini hanya seorang budak penggembala. Biri-biri ini bukan milik saya, tetapi tanggung jawab saya. Kalau tuan ingin membeli barang seekor, temuilah tuan saya yang rumahnya di balik buit itu." "Ya, anak, 'Umar berujar pula, teralu jauh ke sana. Saya berikan saja uang, sebutkan harganya, lalu laporkan kepada tuanmu." "Hai tuan sudah kukatakan tadi, saya ini bukan pemilik, jadi saya tidak berhak mengambil keputusn untuk menjualnya. "Yah, katakan saja, kepada tuanmu itu bahwa biri-biri yang saya beli itu diterkam binatang buas, dan uangnya engkau ambil." "Tuan, saya ini bukan saudaranya Nabi Yusuf AS." Dan dengan mata yang membelalak budak gembala itu membentak 'Umar: "Fa ayna Llah? Maka di manakah Allah?"

***

Dari fragmen-fragmen di atas kita dapat menimba sendiri kriteria dan gaya kepemimpinan, serta hasil pembangunan manusia sebagai output kepemimpinan itu. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 15 November 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

056. Mufakat, Voting dan Rujukan

Perbincangan tentang mufakat dan voting waktu akhir-ahir ini seperti meningkat suhunya. Imbasnyapun sampai-sampai masuk dalam Penataran Pra-Jabatan Calon Pegawai Negeri yang dosen-dosen di tingkat 6 Gedung Rektorat Unhas. Untuk dapat tiba di atas sebenarnya hanya 5 kali memanjat tangga. Memanjat, oleh karena lift belum ada. Pada waktu upacara pembukaan penataran itu, saya berbisik kepada Pembantu Rektor II, Prof. Akil, bahwa sebaiknya tidak usah lift itu diteruskan dibuat. Supaya kita ini olah raga panjat tangga, menghemat sumbrdaya alam, memperkecil polusi CO2. Namun PR II menjawab, mesti diteruskan menyelesaikan lift, sebab nanti ada kesan bahwa Gedung Rektorat tidak selesai-selesai.

Dalam diskusi yang saya pandu, para dosen-dosen muda itu antara lain memperdebatkan tentang mufakat dan voting itu. Adalah menjadi tugas rutin buat saya, setiap tahun menjadi penatar Pra-Jabatan di Unhas. Sebelum Pak Domo berucap yang diliput oleh wartawan tentang pemberian predikat faham liberal bagi yang menghendaki voting, dalam diskusi antar dosen-dosen muda itu ada pendapat yang senada dengan Pak Domo itu. Bahwa voting itu adalah produk faham liberal, jadi bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu: "Bulat air di pembuluh, bulat kata karena mufakat." Tetapi dalam diskusi itu tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa voting tidaklah bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dan kelihatannya kedua pendapat itu tidak dapat bertemu dalam diskusi tersebut.

Maka perlu penatar turun tangan. Saya katakan mengapa pendapat itu tidak bertemu. Karena hanya masing-masing mengemukakan argumentasi tanpa rujukan, tanpa reference. Ini sayang sekali karena diskusi antar dosen itu melupakan satu hal yang esensial dalam dunia akademik, yaitu reference, maraji', rujukan. Dan rujukan itu harus diambil dari kesepakatan Bangsa Indonesia yang formal, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan produk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu Tap MPR. Memang benar bahwa dalam kebudayaan asli kita ada pepatah: "Bulat air di pembuluh, bulat kata karena mufakat." Tetapi ini tidak boleh dijadikan reference untuk memberikan predikat faham liberal pada voting. Karena pepatah itu hanya relevan untuk situasi nenek-nenek kita dahulu di desa-desa, yang jumlah penduduknya sedikit, dan masyarakat yang agraris yang punya banyak waktu.

Sekarang susah, karena kita berpacu dengan waktu. Sebenarnya voting dan mufakat adalah batas bawah dan batas atas. Efek negatif dari voting adalah membuahkan dominasi mayoritas. Kalau harus selalu diselesaikan dengan voting, maka kasihanlah golongan minoritas. Demian pula sebaliknya, efek negatif dari mufakat adalah membuahkan tirani minoritas. Satu orang anggota saja yang tidak setuju maka keputusan belum dapat diambil. Maka kasihanlah yang mayoritas. Maka bulat air di pembuluh diambil sifat air yaitu fleksibel. Sehingga tidak boleh ada dominasi mayoritas, dan tidak boleh pula ada tirani minoritas. Jadi batas bawah yang voting itu seperti perceraian. Suatu hal yang tidak disenangi, namun legal. Batas atas yang mufakat adalah yang paling disenangi, tetapi sulit.

Selanjutnya dalam menengahi diskusi itu saya ambillah rujukan. Bahwa voting itu dibolehkan oleh UUD-1945, pasal 6 dan pasal 37. Dan bahwa mufakat itu merupakan sasaran yang ideal, yang sebaiknya, bukan yang semestinya. Dalam Tap MPR No.II/MPR/1978 disebutkan: Keputusan diusahakan secara mufakat. Maka perhatikanlah ungkapan diusahakan itu. Adapun pemakaian voting dan mufakat itu lebih diperjelas lagi dalam SU MPR 1 Maret 1983, yang menghasilkan Tap MPR tentang Peraturan Tata Tertib MPR. Yaitu dalam Bab XI, Pasal 92, ayat 1: Putusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila putusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin diusahakan karena adanya pendirian dari sebagian peserta musyawarah yang tidak dapat didekatkan lagi atau karena faktor waktu yang mendesak.

Dalam Al Quran nilai utama musyawarah difirmankan Allah dalam S. Asy Syura ayat 38: Wa Amruhum Syuwra- Baynahum, dan urusan mereka dimusyawarakan di antara mereka. Dan lagi Firman Allah: Wa Sya-wirhum fiy lAmri faIdza- 'Azamta faTawakkal 'ala Lla-h, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan, dan apabila engkau telah mengambil ketetapan, maka tawakkallah kepada Allah. Adapun bagaimana cara bermusyawarah itu harus sesuai dengan makna syura yang dberasal dari akar kata yang dibentuk oleh syin, waw, ra, syawwara, artinya mengambil madu dari sarang lebah. Madu berhasil diambil, artinya musyawarah berhasil mengambil keputusan, tanpa disengat lebah, artinya tanpa proses baku lempar kursi, atau hasil musyawarah tidak potensial mengandung konflik di belakang hari. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 22 November 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

057. Sekali Lagi Kriteria

Sebenarnya kriteria itu dalam bahasa asalnya criteria berbentuk jamak, yang bentuk tunggalnya criterium. Jadi semestinya kalau yang dimaksud itu tunggal, seharusnya ditulis kriterium. Namun setelah kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia, baik jamak maupun tunggal disebutlah kritria. Maka yang dimaksud dalam judul di atas adalah bentuk tunggal dan jamak.

Kita mulai dengan yang jamak dahulu. Sebenarnya dalam memajukan kriteria untuk apa saja tidak boleh terlalu cerewet, artinya jangan terlalu keliwat banyak menuntut kriteria. Ingat, manusia itu bukanlah superman. Superman hanya ada dalam cerita untuk anak-anak, sedangkan dalam alam realitas yang ada hanya Suparman.

Dalam Al Quran Allah mengisahkan kepada pembaca Al Quran kisah tentang Bani Israil yang terlalu cerewet tentang kriteria. Dengarlah FirmanNya: Wa Idz Qaala Muwsa- liQawmihi- Inna Lla-ha Ya^murukum an Tadzbahuw Baqaratan, ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu sekalian untuk menyembelih lembu (S. Al Baqarah 67). Dalam ayat berikunya dapat kita baca, yaitu mereka memajukan kriteria mengenai lembu itu. Qaaluw D'ulanaa Rabbaka Yubayyin laNaa Maa Hiya mereka berkata cobalah (hai Musa) meminta kepada Tuhanmu bagaimana tentang lembu itu, lalu Allah memberikan krieria: Innahaa Baqaratun Laa Faaridhun wa Laa Bikrun, sesungguhnya lembu itu tidak terlalu tua, namun tidak pula terlalu muda. Dalam ayat berikutnya dapat kita baca lagi mereka itu minta satu kriteria pula Maa Lawnuhaa, bagaimana warnanya. Kemudian Allah memberikan kriteria yang diminta itu, Innahaa Baqaratun Shafraau Faaqi'un Lawnuhaa Tasurru nNaazhiriyn, sesungguhnya lembu itu berwarna kuning, sangat kuning, menyenangkan bagi yang melihatnya. Dalam ayat yang berikut kita dapat baca pula bahwa mereka itu belum puas dengan kriteria yang telah dikemukakan tadi, mereka masih mengemukakan pula lagi tambahan krieria. Maa Hiya Inna lBaqara Tasyabaha 'Alaynaa. Bagaimana keadaan yang sebenarnya, karena buat kami (dengan kriteria yang tadi) masih belum jelas. Maka dalam ayat berikutnya Allah menambah beberapa kriteria lagi. Innahaa Baqaratun Laa Dzaluwlun Tutsiyru lArdha wa Laa Tasqi lHartsa Musallamatun Laa Syiyata Fiyhaa. Sesungguhnya lembu itu tidak pernah dipakai untuk mengolah lahan, tidak cacat dan tidak belang. Dan ayat itu ditutup dengan dan hampir saja mereka tidak dapat melakukannya.

Itulah sebenarnya apa yang terjadi jika terlalu cerewet minta terlalu banyak kriteria. Itu tidak berarti bahwa mengemukakan sejumlah kriteria tidak benar, melainkan kemukakanlah kriteria yang wajar-wajar saja. Ya, artinya jangan keliwat batas, jangan terlalu cerewet.

***

Terkadang dalam hal kriteria ini dibutuhkan satu saja dari sekian banyak kriteria. Maka mengambil salah satu di antaranya itulah yang disebut dengan memilih. Yaitu memilih yang terbaik di antara yang baik, yang akan dijadikan tolok ukur guna kepentingan evaluasi. Tetapi tidak selamanya pemilihan kriteria itu untuk dipakai sebagai tolok ukur. Dalam Hukum Islam kita kenal skala prioritas antara dua hal: Mengerjakan yang baik dengan menolak yang buruk. Kalau mesti mengadakan pilihan, artinya jika tidak memungkinkan untuk mengerjakan kedua kriteria itu sekali gus, maka yang mana mesti didahulukan? Dalam Hukum Islam menolak yang buruk lebih diprioritaskan ketimbang mengerjakan yang baik.

Di bawah ini akan diberikan contoh dari hasil liputan saya sendiri, jadi data primer. Boleh dikatakan setiap hari saya meliwati Jalan Sunu. Trotoarnya seperti juga dengan trotoar jalan-jalan yang lain kelihatannya indah. Ini memenuhi salah satu kriteria dalam Bersinar, yargon kotamadya kita itu. Sekarang menjelang musim hujan, Jalan Sunu dibenahi, ditinggikan. Maka tertutuplah lubang, semacam riool kecil untuk mengalirkan genangan air hujan dari jalan raya ke selokan. Jadi disain trotoar yang tinggi, yang indah itu, menyebabkan genangan air tidak dapat mengalir keselokan. Maka untuk menanggulangi permasalahan ini, trotoar mesti diubah disainnya Karena kalau tidak maka Jalan Sunu akan menjadi anak sungai pada waktu lebat-lebatnya hujan.

Jadi ada dua kriteria yang saling diperhadapkan, trotoar yang indah atau Jalan Sunu tidak rusak. Menolak yang buruk diprioritaskan ketimbang mengambil yang indah. Jadi menghindarkan Jalan Sunu menjadi sungai harus diprioritaskan ketimbang trotoar yang indah. Dan Jalan Sunu hanya sebuah sample, tentu masih ada di Kota Makassar ini yang bernasib seperti Jalan Sunu ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 29 November 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

058. Faktubuwhu,......walyaktub; Tuliskanlah,...... dan tuliskanlah

Salah satu program Kanwil Depag Sulawesi Selatan ialah akan menyelesaikan sertifikat semua tanah wakaf masjid-masjid, dan isnya Allah diharapkan selesai selambat-lambatnya 31 Maret 1993. Gubernur Sulawesi Selatan yang baru-baru ini memimpin rapat Bazis di gubernuran, sebagai Ketua Bazis Sulawesi Selatan menyatakan, bahwa masalah tanah adalah masalah yang rawan. Dan minta supaya dana Bazis dialokasikan dalam pengertian diprioritaskan bagi penyelesaian sertifikat semua tanah wakaf tersebut. Mengapa hal ini sampai terjadi, yaitu tanah wakaf tanpa sertifikat, oleh karena penghibaan tanah wakaf itu oleh yang menghibakan dilakukan secara lisan. Dan dalam Konsultasi Hukum Harian Fajar hari Ahad yang lalu juga dibahas oleh pengasuh kolom tersebut tentang pemberian tanah yang secara lisan itu, sehingga anak dari yang diberi tanah secara tak tertulis itu, sekarang mengalami kesulitan karena anak pemberi tanah itu tidak mau mengerti bahwa tanah itu telah diberikan atau dihibakan oleh ayahnya.

Kehidupan beragama di kalangan ummat Islam di Indonesia ini sejak berkembangnya ajaran Islam ini, kelihatannya boleh dikatakan tidaklah mengecewakan. Bahkan sampai sekarang ini. Kita dapat menunjukkan indikator, seperti berkembangnya majelis-majelis ta'lim, penuhnya mesjid-mesjid pada hari Jum'at, bahkan melimpahnya mesjid-mesjid pada malam bulan Ramadhan oleh jama'ah tarwih. Hanya saja ada yang perlu disimak lebih jauh. Tidak pula dapat disangkal bahwa kehidupan beragama itu hanyalah yang menyangkut 'ubudiyaat saja, seperti shalat, puasa, zakat dan naik haji. Bagaimana dengan kehidupan beragama dalam lingkup mu'amalaat? Yah, belumlah seintensif yang 'ubudiyaat, kalau tidak boleh dikatakan bahwa kehidupan bermu'amalah itu masih mengecewakan. Apa indikatornya? Itu antara lain dalam pembukaan tulisan ini, penyerahan, penghibaan yang lisan. Adalah yang menjadi kenyataan bahwa perintah-perintah Allah dalam Al Quran yang menyangkut kehdupan bermasyarakat dan bernegara kurang diperhatikan oleh ummat Islam. Cobalah dengarkan perintah Allah dalam FirmanNya ini:

Nun, walQalami, wa Maa Yasthuruwn (S. Al Qalam 1), Nun, perhatikanlah pena dan apa yang mereka tuliskan. (68:1). Dan selanjutnya dengarkanlah pula: Ya-ayyuha Lladziyna A-manuw Idzaa Tadaayantum biDaynin ila- Ajalin Musamman Haktubuwhu, Walyaktub Baynakum Ka-tibun Bil'adli (S. Al Baqarah, 282), dan apabila kamu membuat perjanjian perikatan, hutang piutang, tuliskanlah, dan mestilah seorang notaris di antara kamu menuliskannya dengan adil (2:282). Dalam ayat (2:282) dua kali Allah memerintahkan menulis, faktubuwhu, ini fi'il amr, kata kerja perintah, imperatif, dan walyaktub, ini juga perintah, yaitu memakai lam al amr, lam yang menyatakan perintah. Jadi Allah memerintahkan menulis perjanjian perikatan, dan Allah memerintahkan pula perjanjian itu harus dituliskan oleh seorang notaris dengan adil. Namun seperti kta lihat di atas itu banyak sekali, kalau tidak boleh dikatakan semuanya tanah-tanah wakaf itu dihibakan secara lisan, tidak faktubuwhu dan tidak walyaktub.

Mengapa perintah Allah yang mu'amalaat kurang begitu diperhatikan oleh ummat Islam ketimbang dengan yang 'ubudiyaat? Apa latar belakangnya? Suatu salah kiprah tentang pemahaman bahwa kehidupan beragama itu adalah urusan antara seorang pribadi dengan Tuhannya. Sesungguhnya yang menjadi urusan pribadi antara seorang hamba dengan Allah ialah niat dalam mengerjakan sesuatu. Inna ma l-a'malu bi niyyat, sesungguhnya amal itu dengan niat, sabda Rasulullah SAW. Ajaran Islam adalah konsepsional, pedoman hidup apakah yang 'ubudiyaat, ritual, ataupun yang mu'amalaat, kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun melaksanakan perintah Allah baik yang ritual, maupun yang kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hanya Allah dan hamba itu sendiri yang tahu niatnya. Sebab niat itu perkara batin. Apakah mengerjakan apa yang dikerjakan itu dengan ikhlas karena Allah, ataukah demi penampilan karena (ingin dipuji oleh) manusia. Hanya Allah dan hamba itu yang tahu. Nah, urusan antara hamba dengan Allah dalam konteks niat inilah, apakah ikhlash atau riya (demi manusia, demi kepentingan politik kekuasaan yang bukan karena Allah).

Jadi sekali lagi, bahwa ajaran Islam itu kosepsional, baik yang menyangkut 'ubudiyaat, ritual, maupun yang mu'amalaat, kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Adapun pelaksanaan ajaran itu apakah ikhlas karena Allah, ataukah penampilan karena untuk manusia, itu rahasia. Hanya hamba itu dan Allah yang mengetahuinya. Dan itulah yang disebut dengan itu urusan antara hamba dengan Rabbnya. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 6 Desember 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

059. Mizan

Salah satu gaya spesifik Al Quran yaitu mengambil ibarat keadaan yang abstrak dan kejiwaan, katakanlah perangkat halus, dengan memberikan ilustrasi keadaan alam, katakanlah perangkat kasar. Barangkali masih ingat dalam Seri Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu ini, keadaan yang abstrak yaitu tentang hal amal sedekah atas dasar penampilan, hilang pupus ibarat hujan yang mengguyur lereng bukit, mengikis lapisan tanah hingga timbul batu karang licin, yaitu erosi. Atau keadaan kejiwaan Al Walid ibn Mughirah yang dalam keadaan stress oleh kebimbangan, digambarkan oleh Al Quran dalam S. Al Muddatstsir ibarat orang mendaki gunung tersengal-sengal keletihan. Seperti diketahui menurut ilmu pengetahuan sekarang ini, tersengal-sengal karena mendaki gunung itu disebabkan oleh karena banyaknya energi yang keluar dan makin tinggi di atas permukaan bumi oksigen kian menipis.

Maka demikianlah kali ini akan dikemukakan tentang mizan, yaitu mengenai apa saja yang imbang. Dapat bermakna keseimbangan alam, dapat pula bermakna keseimbangan kejiwaan, dapat juga bermakna keseimbangan penilaian, bahkan dapat bermakna suatu alat dalam keadaan keseimbangan yang disebut dengan timbangan. Kesemuanya ini ada dalam S. Ar Rahman.

Allah SWT mulai menunjuk kepada keseimbangan makrokosmos. Wassama-a rafa'ahaa wa wadha'a lmiyzaan, artinya: Dan langit itu ditinggikan dan dijadikan dalam keadaan seimbang. (ayat 7) Allah menciptakan mizan, keseimbangan di makrokosmos. Adapun keseimbangan di makrokosmos itu sifatnya adalah keseimbangan yang dinamis. Allah sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur, mengatur makrokosmos melalui gravitasi. Apapun penafsiran para pakar tentang gravitasi, apakah itu suatu medan gaya, menurut penafsiran Newton, atau apakah itu suatu garis geodesik menurut penafsiran Eintein, maka melalui gravitasilah Allah SWT mengatur gerak makrokosmos yang dalam keseimbangan dinamis. Matahari bersama-sama dengan jutaan bintang, atau najm (un) tunggal, nujuwm(un) jama', menurut bahasa Al Quran, dan gas interstellair, yang dalam istilah Al Quran disebut dukhan, mengedari pusat Milky Way dalam keseimbangan dinamis. Atau dalam ruang lingkup yang lebih kecil, tata-surya, planet-planet, yang dalam bahasa Al Quran disebut dengan kaukab(un) kawaakib(un) jama', mengelilingi pusat tata-surya yaitu matahari, juga dalam keadaan mizan, keseimbangan yang dinamis itu.

Dan bagaimana dengan dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yaitu di bumi kita ini? Wa l.ardha wadha'ahaa lil.anaam, dan di bumi dijadikan padanya (keseimbangan) bagi makhluk hidup (ayat 10). Di dalam ilmu teknik dikenal sebuah istilah yang disebut dengan kibernetika, yang dalam bahasa Inggeris cybernetics, yang dipinjam dari bahasa Yunani kubernetes. Kibernetika berhubungan dengan suatu sistem yang secara dinamis selalu dalam keadaan mizan dengan perubahan keadaan lingkungannya. Jika keadaan lingkungan berubah maka sistem itu dapat mengubah keadaan dirinya pula. Semua makhluk hidup ciptaan Allah SWT di alam ini adalah sistem-sistem kibernetika. Ambillah contoh misalnya manusia. Apa yang terjadi apabila kita manusia ini berada dalam lingkungan yang panas, yang tinggi suhunya? Allah SWT menciptakan manusia dengan perlengkapan antara lain kulit sebagai pengindera. Informsi naiknya suhu lingkungan yang diindera oleh kulit diteruskan oleh saraf perasa ke otak sebagai pusat kontrol. Kemudian otak mengolah informasi dan hasil pengolahan data itu diteruskan oleh saraf ke kelenjar peluh. Setelah kelenjar peluh menerima perintah otak untuk bekerja, maka bekerjalah ia berproduksi peluh. Banyaknya peluh yang harus dikeluarkan oleh kelenjar peluh sesuai dengan kebutuhan, menurut hasil olah data oleh otak tadi. Artinya dalam otak terjadi proses matematik menghitung berapa banyak air peluh yang harus menguap untuk menurunkan suhu badan dalam keadaan normal, 37 derajat Celcius. Seperti diketahui untuk menguap perlu panas. Air peluh yang menguap membutuhkan panas dan panas di ambil dari tubuh. Dan otaklah yang menghitung berapa banyak air peluh yang dibutuhkan itu. Lama kelamaan tubuh manusia akan kekurangan air karena penguapan air peluh itu. Maka kita merasa haus, lalu kita minum air, lalu tercapailah pula keadaan mizan menyangkut kuantitas air dalam tubuh kita. Demikianlah contoh makhluk dengan sistem kibernetika itu bagaimana membentuk keadaan mizan dengan dinamika lingkungannya, yang biasa kita kenal pula dengan istilah ekosistem.

Di dalam ilmu teknik tidak kurang hal yang ditiru dari proses kehidupan manusia dan binatang. Pasal tiru-meniru ini dalam keteknikan ini disebut dengan bionika. Dan yang khusus meniru sistem kibernetika makhluk ciptaan Allah, dikaji dalam Teknik Mengatur. Misalnya di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Rumah Daya (Power House) di PLTU merupakan sistem kibernetika. Artinya Rumah Daya itu dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan beban yang dipakai oleh pelanggan listrik. Apabila terjadi perubahan beban, katakanlah beban bertambah, maka kenaikan beban ini menyebabkan kecepatan putaran turbin akan menurun. Elemen pengindera dari sistim kontrol serta merta mengindera perubahan kecepatan ini. Dan informasi perubahan ini diteruskan ke elemen penghitung yang serta merta menghitung berapa besarnya lubang katup pengatur akan dibuka, guna menambah uap masuk turbin. Informasi ini lalu selanjutnya diteruskan ke elemen daya (power element) untuk membuka katup sesuai dengan perhitungan elemen penghitung tadi. Dan uap akan masuk turbin secukupnya untuk menaikkan kembali kecepatan berputar poros turbin. Yaitu kembali ke kecepatan berputar semula. Jadi apapun perubahan pemakaian beban, poros turbin akan tetap kecepatan berputarnya. Yaitu seperti manusia dengan lingkungannya di atas itu. Apapun perubahan suhu lingkungan, tubuh kita akan tetap suhunya sekitar 37 derajat Celcius. Itu kalau sistem kontrol tubuh kita berfungsi dengan baik, artinya kalau kita sehat wal afiat adanya.

Di PLTU di samping Rumah Daya ada pula yang disebut dengan Rumah Ketel (Boiler House). Jika terus-terusan Rumah Ketel mengeluarkan uap, maka ketel itu juga akan merasa haus, lalu juga minum air. Artinya ada alat sensor persediaan air dalam ketel. Begitu air dalam ketel sampai kepada level tertentu mekanisme sensor mengirim informasi ke alat penggerak pompa pengisi air ketel, yang serta merta bekerja mengisi ketel dengan air secukupnya, seperti kita minum air karena merasa haus.

Itu semua adalah ilustrasi, yang tujuannya adalah sebuah ibarat tentang keseimbangan kejiwaan, keseimbangan perihal kehidupan manusia, keseimbangan dalam penilaian yang disebut keadilan, termasuk di dalamnya membuat keadaan seimbang dalam melakukan pekerjaan menimbang. Allaa tathgaw fi lmiyzaan. Wa aqiymu lwazna bi lqisthi wa laa tuhsiru lmiyzaan, supaya tidak terjadi ketidak tertiban dalam menimbang. Dan tegakkanlah keseimbangan dengan adil (yang terbit dari nurani kamu) dan janganlah kurangi timbangan (waktu menjual). (ayat 8 dan 9). WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 13 Desember 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

[BACK] [HOME]

060. Dialog Musa dengan Hamba Allah yang Bijaksana, Gejala dan yang Tersirat

Dialog ini terjadi pada waktu Musa belum diangkat oleh Allah menjadi nabi. Sedangkan hamba Allah yang bijaksana itu adalah guru Musa. Mengapa dikatakan bijaksana, oleh karena Allah memberikan predikat kepadanya dengan: 'Abdun min 'ibadina ataynahu rahmatan min 'indina wa 'allamnahu min ladunna 'ilman, seorang hamba dari hamba-hambaKu yang Kuberi rahmat dari sisiKu dan Kuajarkan 'ilmuKu kepadanya. (S.Al Kahf 65). Pada umumnya orang berpendapat bahwa hamba Allah tersebut adalah Nabi Khidhir AS. Disebut Khidhir karena selalu berpakaian hijau, kata itu dibentuk oleh akar kata dari 3 huruf KHa, DHa dan Ra artinya hijau. Di desa-desa peralaman dikenal dengan nama Nabbi Helere'.

Dialog ini berlangsung dalam kesempatan studi-wisata antara keduanya, guru dan murid. Yaitu pada waktu mereka sampai ke suatu tempat di pinggir laut, mereka menemukan sebuah perahu. Sang guru serta merta merusak perahu itu. Sang Murid serta merta pula memprotes sang guru. .....qala akharqtaha litughriq ahlaha...., ...(Musa) berkata mengapa engkau melubanginya, nanti penumpangnya dapat tenggelam.... (S.Al Kahf 71). Maka sang gurupun menjelaskan bahwa tindakannya itu untuk menghindarkan jangan sampai perahu, yang milik para nelayan miskin, diambil dengan paksa oleh raja yang zalim yang suka merampas barang-barang milik siapa saja. .....wa kana waraahum malikun ya'khudzu kulla safienatin, dan adalah di belakang mereka itu (pemilik perahu) seorang raja yang suka menyita setiap perahu dengan paksa.

Dari dialog itu dapat kita menyimak bahwa Musa hanya melihat apa yang ada di permukaan, sedangkan sang guru melihat yang lebih dalam dari hanya sekadar permukaan saja. Musa hanya melihat gejala, sedangkan sang guru melihat apa yang ada di balik gejala.

Ada kalanya bahkan sering-sering dalam kehidupan kita sehari-hari kita hanya bertindak atas dasar gejala yang kelihatan, sampai-sampai ke dunia periklanan dalam TV. Seorang ibu yang agak panik mengetuk pintu rumah Ibu Joko minta es, karena anaknya demam. Ibu Joko tidak memberikan es melainkan menganjurkan menggunakan termorex, yang kedengaran di telinga tetangganya itu sebagai termos es.

Pada umumnya khalayak tanpa sadar terbius oleh agresifnya iklan-iklan, reklame-reklame melalui mas media yang non-elektronik dan yang elekronik. Akan kita tafsirkan pengobatan demam itu dengan termorex di bawah sorotan sistem kibernetika (silakan dibaca ulang Seri 059 ybl). Ibu menerima informasi melalui rabaan tangannya pada dahi anak. Informasi ini dia bandingkan dengan dengan standar yang ia telah kenal, yaitu rabaan pada dahi anak waktu sedang sehat. Ia melihat adanya penyimpangan suhu sekarang dengan suhu menurut standar dalam keadaan sehat. Ia mengadakan tindakan korektif, memberi anaknya minum termorex, ataupun boderxin, ataupun tempra, ataupun biogesic dan semacamnya yang lain-lain. Hasilnya suhu badan anaknya turun sesuai dengan standar. Ya, tetapi buat sementara, karena aksi kontrol itu hanya mengenai yang gejala saja. Tidak tertuju pada apa yang ada di balik gejala, yaiutu penyebab.

Di sinilah pentingnya pemakaian metode pendekatan sistem. Seseorang yang hanya berpikir secara berkotak-kotak, artinya hanya melihat komponen-komponen secara terpisah-pisah, maka tidak mungkin dia akan dapat melihat mana yang gejala mana yang penyebab. Kalau anak yang sakit itu dibawa ke dokter, maka dokter itu akan memeriksa tubuh anak itu di beberapa tempat. Karena dokter itu mengetahui bahwa tubuh orang itu merupakan suatu sistem kibernetika, komponen-komponennya mempunyai hubungan erat antara satu dengan yang lain. Dokter akan mengadakan diagnosa atas dasar pendekatan sistem. Hasilnya ia akan mendapatkan penyebab sakit yang sebenarnya. Ia menyuntik atau memberikan obat kepada anak itu sebagai aksi kontrol terhadap penyebab penyakit yang sebenarnya, dengan tak lupa pula memberikan obat untuk yang gejala, yaitu menurunkan panas. Jadi dokter mengadakan aksi korektif baik terhadap yang gejala dan terutama sekali terhadap yang penyebab. Tentu saja khalayak perlu juga menyadari adanya penyakit yang muncul hanya yang gejala saja. Yang penyebab tetap bersembunyi dari incaran para dokter. Semisal penyakit tekanan darah tinggi, ada yang dari jenis sang penyebab tetap usil, masih bersembunyi dari incaran dokter. Dan dalam hal ini terpaksalah sang pasien hidup bersama penyakit. Aksi kontrol tetap sebatas yang gejala saja.

Bersabda Rasulullah SAW: Kullukum rain, wa kullu rain mas ulun 'an ra'iyatihie. Setiap kamu adalah manajer, dan setiap manajer bertanggung jawab atas rakyatnya. Sebagai seorang manajer, ya, manajer dalam kaliber apa saja, manajer rumah tangga, manajer kabupaten, provinsi, negara, kumpulan negara-negara, tentu tidak akan sunyi dari tindakan mengambil keputusan, yang tidak terkecuali keputusan untuk mengambil aksi kontrol. Maka sebelum memutuskan untuk mengambil tindakan korektif perlu sekali mengadakan diagnosa yang hati-hati untuk dapat melihat mana yang di permukaan dan mana yang di bawah permukaan. Ya tirulah aksi korektif dari hamba Allah yang bijaksana itu, sang guru dari Musa. WaLlahu a'alamu bishshawab.