Islamuna El-Jamil
Alyauma akmaltu lakum dinakum

Jumat, 13 Agustus 2010

Ramadhan: Mengikis Ego Membangun Solidaritas

Tak terasa sudah beberapa hari sudah Ramadhan mengunjungi kita. Segala rasa penat: tetes keringat yang tumpah, waktu - pikiran - tenaga yang terkuras, dan bahkan dana yang banyak keluar, seperti tak terasa di bulan penuh rahmat dan maghfiroh Allah ini. Beberapa hari kita dalam gemblengan madrasah Ramadhan memang ada rasa yang begitu bermakna: Ada spirit baru yang menghujam kokoh dalam jiwa, yakni spirit untuk membangun kebersamaan. Spirit ini yang membuat kita tetap eksis meniti hari-hari Ramadhan kita dengan tekun.

Kita seperti disadarkan kembali oleh Ramadhan, bahwa kita adalah umat yang satu.


"Sesungguhnya ini (syariat Islam) syariat yang satu untuk kalian semua, dan Aku adalah Robb kamu, maka sembahlah Aku," (QS 21:92).

Adakah kita merasakan sentuhan Ramadhan yang penuh makna itu? Yang membangunkan kesadaran nurani kita yang selama ini terbenam dalam karat-karat nafsu hubbud dunya yang tidak rasional? Lalu ia mengokohkan cita-cita kita untuk senantiasa bersama dalam barisan perjuangan dakwah Islam? Kita sendirilah yang bisa menjawabnya.

Sesungguhnya Allah (sebagaimana halnya dinul Islam dan kaum Muslimin), sangat berharap besar pada kita bahwa Ramadhan menjadi momentum pembersih jiwa kita secara radikal. Karena spirit Allah (tauhid) itu, tidak mungkin bisa tertanam kokoh kecuali pada jiwa yang telah berserah diri (bersih/muth'mainnah) secara total dalam rengkuhan kekuasaan-Nya.

Dari situlah diharapkan terbangun aqidah yang selamat (salimul aqidah), fikroh yang berwawasan dunia-akhirat (mutsaqoful fikri), akhlaq yang kokoh (matinul khuluq), dan ibadah yang benar (shohihul ibadah).

Seyogyanyalah Madrasah Ramadhan ini mampu menggembleng dan menggiring kita menjadi manusia berkarakter tauhid. Betapa tidak? Bukankah dalam shiyam misalnya, kita dididik menjadi manusia yang mengakui supremasi Allah di segala ruang di mana kita berpijak. Karena shiyam yang kita jalankan tanpa pengawasan siapapun, kecuali pengawasan Allah yang kita yakini selalu bersama dan mengawasi kita di mana pun kita berada. Inilah yang membuat kita berteguh hati menahan lapar dan haus di siang hari tanpa berani sedikitpun kita membatalkannya, walau hanya dengan setetes air.

Shiyam menggembleng kita, agar kita memiliki visi yang berwawasan dunia akhirat. Karena ia mengajarkan kita selalu bersikap optimis dalam meraih sukses keduanya. Nabi saw sendiri menjanjikan bagi orang yang berpuasa, bahwa mereka akan mendapatkan dua kebahagiaan, di dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang pertama adalah ketika ia berbuka, dan kebahagiaan yang kedua adalah ketika berjumpa dengan Robbnya.

Rosulullah saw bersabda, "Bagi para shoimin/shoimat ada dua kebahagiaan. Kebahagiaan pertama ketika ia berbuka, dan kebahagiaan kedua ketika ia berjumpa dengan Robbnya di yaumil akhir."

Ramadhan juga menempa kita untuk senantiasa berlaku positif, baik vertikal (kepada Allah) maupun horizontal (sesama manusia). Kita dilarang berdusta, mencaci, berkata tidak senonoh, menggunjing, dan sebagainya, saat sedang melaksanakan puasa.

"Bukanlah (hakikat) shiyam itu sekadar meninggalkan makan dan minum. Melainkan meninggalkan pekerti sia-sia (tidak bernilai) dan kata-kata bohong," (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).

Allah juga menggesa para orang beriman agar beramal dan beribadah sebanyak-banyaknya secara benar (QS 2:186).

Karena selama Ramadhan Allah membuka pintu rahmat dan ampunanNya seluas-luasnya. Bukan saja Allah menjanjikan pahala-pahala istimewa yang tidak Ia berikan di bulan lain, tapi Allah juga memanggil hamba-hambaNya yang pernah menjauh dariNya untuk mengambil kesempatan Ramadhan sebagai momentum mendekatkan diri kepadaNya. Mengharapkan rahmat, keberkahan, dan maghfirohNya yang maha luas tak terbatas. Inilah bulan pertaubatan bagi hamba-hamba Allah yang selama ini telah melakukan subversi kepada Allah.

Nabi bersabda, bahwa setiap malam bulan Ramadhan Allah membebaskan banyak hamba-hambaNya dari api neraka. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Ada satu malam sangat istimewa yang hanya Allah sediakan di bulan Ramadhan. Malam itu tak lain adalah Lailatul Qodr. "Rasulullah saw tidak pernah melewatkan kesempatan untuk meraih Lailatul Qodr terutama malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan." (HR Bukhori dan Muslim).

Karena itu Rasulullah saw berpesan pada kita untuk membangun ibadah sebaik dan sebenar-benarnya pada malam 1000 bulan ini. "Barangsiapa yang sholat pada malam Qodr berdasarkan iman dan ihtisab (mengharap Ridho Allah), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu."

Ya. Ramadhan bukan hanya menjadi sarana tarbiyah intensif hingga berujung pada restorasi total jiwa manusia. Yakni jiwa yang akhirnya kembali kepada fitrahnya. Yang dengan fitrah itu manusia mampu memahami tentang hakikat Penciptanya, hakikat tentang penciptaan dirinya, dan hakikat kehidupan secara benar.

Tapi jiwa yang bersih juga akan terbebas dari belenggu ego-sentris. Sifat tercela yang membuat manusia jadi tamak, tidak toleran, kasar, bebal, kehilangan nurani, dan menjadikannya makhluk asosial. Jiwa itu menjadi kian sensitif merespon berbagai fenomena yang terjadi di sekitar dirinya. Dengan kata lain dari madrasah Ramadhan itulah diharapkan lahir manusia-manusia yang memiliki rasa solidaritas sosial yang amat sensitif. Yang mampu mengikis habis karat-karat ego yang mengotori jiwanya.

Ramadhan hakikatnya memang ingin mendidik orang-orang beriman membangun kembali tali persaudaraan sejati, Ukhuwah Islamiyah yang kokoh. Membangun kembali visi orisinal kaum Muslimin yang telah lama tercampak jargon-jargon materialistik yang kejam. Bahwa kita sebagai umat yang satu. Satu Tuhan, satu Undang-Undang, satu Qudwah, satu Jalan (thoriq), dan satu cita-cita. Memang, Ramadhan hakikatnya mengajarkan kita untuk menata kembali semangat kebersamaan dan kesatuan itu.

Kita kaum Muslimin dimanapun kita berada, sama-sama memulai menahan makan dan minum pada dini hari. Sama-sama menahan lapar dan dahaga sepanjang siang hingga sore. Pada waktu yang sama dan secara bersama-sama pula menyantap hidangan berbuka. Sama-sama meramaikan masjid-masjid Allah, serta sama-sama menghidupkan kembali malam-malam Ramadhan kita dengan bacaan Alquran. Luar biasa link kebersamaan yang dikomando oleh iman itu.

Pada saat bersamaan, nun jauh di Palestina sana, saudara-saudara kita juga melakukan amaliyah yang sama di bulan Ramadhan. Mereka sama dengan kita, menahan lapar-haus di siang hari, memakmurkan masjid-masjid Allah, tilawah Qur'an. Yang berbeda antara kita dengan mereka adalah, mereka saudara-saudara kita Muslim Palestina, tetap istiqomah berjihad melawan Yahudi laknatullah. Kaum yang telah meluluh lantakkan tanah kelahiran mereka, membunuhi orangtua, adik, kakak, anak, dan istri-istri mereka. Adakah solidaritas kita juga menyentuh penderitaan kaum Muslimin Palestina? Kitalah yang bisa menjawabnya.

Tapi alangkah ruginya bila kita masih tidak memiliki kepekaan terhadap nasib nestapa yang dialami saudara-saudara kita di belahan bumi yang lain, khususnya di Palestina. Sebab ini adalah indikasi kegagalan kita meraih ketaqwaan di bulan Ramadhan. Sebab kepedulian adalah temannya taqwa. Sementara egoisme dan sikap individualistik, adalah temannya orang-orang yang lupa kepadaNya (goflah). Allah SWT berfirman;

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu sebagai suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Ia juga selalu menepati janjinya apabila ia berjanji. Mereka sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." (QS 2:177).

Ayat di atas mengurai secara jelas, bahwa orang yang taqwa itu bukan hanya memiliki kredibilitas kepribadian (al misdaqiyah adz-dzatiyah). Dengan indikasi yakni, hubungannya baik dengan Allah. Tapi juga memiliki kredibilitas keilmuan, moral, amal, serta kredibilitas sosial (al misdaqiyah al-ijtima'iyah). Ia memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi terhadap penderitaan yang dialami saudara-saudaranya di belahan bumi mana pun mereka berada.

Inilah salah satu sifat utama orang-orang bertaqwa: peduli pada derita nasib saudara-saudaranya. Apakah telah tumbuh sifat itu pada kita? Kalau belum, masih ada waktu 10 hari lagi. Yuk, dalam detik-detik terakhir Ramadhan ini kita raih sukses Ramadhan, sukses dunia-akhirat, dengan sekuaaaaat tenaga. Semoga! (sultoni)